Albert Camus dari Tenggara: Yang Berakhir dengan Pertanyaan

Penyair Irianto Ibrahim,  Albert Camus dari Tenggara: Yang Berakhir dengan Pertanyaan.
Oleh : Andhika Mappasomba DM


Judul ini tentu akan mengundang pertanyaan, kok bisa?
Sebuah buku puisi terbaru Irianto berjudul "Yang Berakhir dengan Pertanyaan (YBDP)" yang akan menjawab itu. Mengapa?

Menulis ini, saya tentu sedang menikmati kemerdekaan imajinasi saya sebagai penulis. Imajinasi yang tentu hanya bisa dibendung (sanggah) oleh pembaca yang menulis.

 Apakah saya membatasi makna Puisi Irianto dengan membuat galian di depan benteng imajinasinya? Bukankah Irianto bisa melampaui Albert Camus, sang peraih Nobel Sastra pada tahun 1957 itu? Saya tidak berminat membuat kesimpulan dengan pertanyaan itu. Sebab, seratus baris pertanyaan lain tentu akan mengikuti setelahnya.

Saya penganut pemikiran bahwa satu  puisi yang baik akan sama kekuatannya dengan satu novel yang baik. Saya tidak memandang sebuah karya dari tebal kertas atau jumlah halamannya. Saya menikmati sebuah karya dengan melihat efek pasca baca. Karya yang saat membacanya dia mampu membuat kita masuk ke dalam teksnya atau memiliki khasanah pikiran atau sikap baru atas kehidupan. Sangat kuat dan menancap ke dalam hati.

Membaca buku Puisi Irianto Ibrahim juga mengingatkan saya pada Almarhum Guru saya;  Ahyar Anwar, Gibran dari Timur. Gelar yang disematkan media cetak di Makassar setelah kematiannya pada tahun 2013. Ahyar tentu tidak lagi menikmati gelar itu sebagai manusia hidup.

Ahyar memang pencinta karya Kahlil Gibran dan Pengagum Pikiran Albert Camus tentang eksistensialisme. Keduanya meninggal di usia 40an tahun. Camus di usia 46 tahun dan A. Anwar di usia 43 tahun. Sebuah hitungan usia yang seharusnya berada pada puncak gairah pemikiran dan karya yang dahsyat.

Irianto kini berusia 42 tahun. Usia yang tentu sedang berada pada masa keemasan dan gairah. Usia yang kata orang, hidupnya baru saja dimulai, "life began fourty."

Guru saya pernah berpesan, "tuliskanlah sajak tentang kematian saat kau masih muda dan sehat, agar puisi-puisimu bergairah dan memiliki pecut ke hati pembaca. Sebab, jika kau menuliskan puisi kematian setelah tua, puisi itu akan kehilangan gairah. Anak-anak muda akan enggan membacanya, sebab dipenuhi kebaikan dan kebijaksanaan, sementara, pembaca usia muda sangat menyukai gairah-gairah yang asing dan baru."

Itulah salah satu titik api yang saya temukan dalam puisi Irianto Ibrahim. Dia banyak membahas tentang kematian pada puisinya. Kematian-kematian yang ia tuliskan saat berusia 42 tahun. Usia yang teguh untuk terus hidup dengan gairah aliran deras puisinya.

Sambil dia mencintai kematian dengan banyak bentuk dan guratan warna, dia juga mencintai negerinya. Cinta pada negeri dan melukis kekhasannya inilah yang membuat saya sampai pada Albert Camus saat membaca puisinya.

36 puisi Irianto dalam buku puisi YBDP ini terlampau tebal untuk saya ulas satu persatu atas hal-hal yang saya temukan. Tapi, tentang kematian, setidaknya dia melukis kematiannya dalam 13 puisi. Sementara tentang negerinya, dia melukis setidaknya pada 10 puisi.

KEMATIAN
Air Mata Langit, pada puisi ini tegas menanyakan tentang kematiannya. Terlepas dari pertanyaan pada kekasihnya, pertanyaan itu tentu ditujukan pada seluruh umat manusia yang mengenalnya. "Kalau nanti saya mati, apa kau akan menangis?"
Puisi ini sangat kuat dan bisa mewakili siapa saja. Tentu, tidak bisa dijawab dengan sederhana. Kecuali ingin dijawab dengan jawaban penyenang hati, jawabannya sederhana, katakan saja "iya" dan penyair yang bertanya akan merasa senang. Realitasnya seperti apa? Yah, tunggu saat waktunya tiba. Apakah penyair yang mati sungguh ditangisi atau tidak?

Lalu Irianto mengakhiri puisinya dengan bukan jawaban pasti. Dia melukis langit yang tiba-tiba gelap, angin bertiup kencang dan dedaunan beterbangan. Jawaban yang tentu hanya akan melahirkan pertanyaan baru. Demikianlah. Jika ingin mengakhiri puisi kematiannya ini, akan lahirlah pertanyaan baru. Pertanyaan setiap manusia pada kekasihnya, yang tentu diwakilkan pada puisi ini.

Puisi kematian lainnya, dapat disimak pada; Untuk Sejengkal Tanah, Seorang Lelaki Tua yang Sedang Berjalan Pulang Suatu Sore di Beestenmarkt, Liwuto, Sagori, Masih Seperti Kemarin, Tentang Sebuah Janji, Pada Suatu Hari, Sebelum Subuh di Liwutongkidi, Rumah Kecil di Tepi Hutan, dan Yang Berakhir dengan Pertanyaan.

Puisi-puisi itu melukis kematian dengan sangat menggoda.
Puisi Irianto bagi saya sebagai masyarakat Sastra seperti satu mulut jalan yang dipenuhi mulut jalan baru lainnya. Di dalam jalan itu terdapat lorong, di dalam lorong terdapat setapak. Dalam setapak terdapat lagi percabangan. Percabangan jalan itu tentu akan melahirkan pertanyaan baru, jalan mana yang akan saya pilih untuk menuju rumah puisi atau penggeledahan Irianto pada kematian.

Apakah semua kematian yang dilukis Irianto hanyalah imajinasi semata? Adakah kalian mengira bahwa segala kematian dan kisah kematian itu hanya akan berakhir sia-sia dan memikul harapan-harapan kosong?

Tidak. Tentu tidak. Kematian yang ditawarkan Irianto bukan kesia-siaan. Dia menekankan tentang nyawa yang harusnya produktif dan mampu bertahan pada tangkai-tangkai kenangan. Kematian yang indah adalah kematian yang penuh kenangan. Makam boleh saja di tepi hutan yang sunyi. Tapi puisinya, cintanya, pencariannya pada kebenaran akan selalu mendengung di keramaian kota-kota di tempat cinta dan kematian dibicarakan sama gaduhnya.

Irianto telah melukis kematiannya dalam puisi Masih Seperti Kemarin. Dia menjawab tanya dengan pertanyaan baru. Dia akan mati dengan indah. Bajunya akan disimpan di gantungan baju dalam kamar, di belakang pintu, sebuah sajadah warisan ibunya masih di mihrabnya, sebuah sarung terlipat rapi di situ. Istrinya menatapi itu semua dengan hening. Hatinya tentu akan bertanya lagi pada akhirnya.

NEGERINYA
Pada buku puisi YBDP, Irianto mengingatkan saya pada Albert Camus, khususnya pada novel "Summer" yang tegas penggambarannya tentang Aljazair yang dipenuhi kuburan Arab yang syahdu dan Kota Oran yang adalah Kota bertembok kuning yang panjang, melingkar, ditatapi langit yang tajam.

Dan Irianto juga melukis negerinya dalam banyak puisi dalam Buku Puisi YBDP. Meski dengan semangat yang berbeda, tapi demikianlah pembaca. Mereka memiliki kemerdekaan memberi makna dan nilai.

"Papalimbang, Di sana tampak rumah-rumah berundak, sisa jemuran yang masih berkibar, diterpa angin laut, juga wangi rambutmu."

Begitulah Irianto Ibrahim melukis negeri tenggara. Seperti Albert Camus melukis Aljazair dalam banyak wajah.

Apakah Irianto Ibrahim juga akan mendapatkan Nobel Sastra seperti Albert Camus? Pertanyaan ini tentu tampak seperti lelucon. Tapi, bagi saya, saat ini, Tenggara memiliki Albert Camusnya Sendiri dalam Dunia Sastra yang serius dan gigih bersungguh-sungguh dalam karya. Tak ada duanya di sana.

Makassar-Gowa,
 5 Juni 2020.

COMMENTS

"BELAJAR ITU SEUMUR HIDUP"
Banner99
Nama

--V,2,Ahmad Muthahier,1,Amrul Nasir,1,Andhika Mappasomba,5,Aprinus Salam,1,Azizaturahmi Madil,1,Bahasa,1,Bicara Buku,6,bookstore,1,buku,1,Celoteh,15,Cerpen,9,Citizenship,1,Citra Deviyanti,1,Cucum Cantini,2,Dwi Novita Rahayu,1,Essai,13,Ettanya Ain,12,Faika Burhan,1,Inspiratif,1,Iphy Nerazzurri,1,Irhyl Makkatutu,1,Ismail Fathar Makka,1,Iwan Djibran,1,Kendari,2,La Hingke,1,La Ode Gusman Nasiru,1,Lailatul Qadriani,6,Literasi,1,Muhammad Agung,2,Muhammad Yusuf Abdan,1,Novel,2,Nurul Mutmainnah,1,Pendidikan,2,Penerbitan,2,Puisi,5,Raya Pilbi,2,Reportase,13,Resensi Buku,1,Review,5,Ridwan Demmatadju,1,Salim Kramat Alverenzo,1,sastra,1,Sinopsis,1,SOGI,1,Sosial Budaya,1,sosial politik,2,Terbitan,19,Yusuf IW,1,
ltr
item
Rumah Bunyi : Albert Camus dari Tenggara: Yang Berakhir dengan Pertanyaan
Albert Camus dari Tenggara: Yang Berakhir dengan Pertanyaan
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEglspWBEWQtqGxmPGFBSxZiIVR3LLH2JnQpV4Wfae_Gr0Ur1ml1BGSknvpjwOl_9CoTja1aoXvpLGYXpvVI-KMkpEQSG5BgwC9dZd_wEilXl07YYzNkG7puux44SDZNcJfs6qbWrLnp5zI/s200/IMG-20200605-WA0000.jpg
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEglspWBEWQtqGxmPGFBSxZiIVR3LLH2JnQpV4Wfae_Gr0Ur1ml1BGSknvpjwOl_9CoTja1aoXvpLGYXpvVI-KMkpEQSG5BgwC9dZd_wEilXl07YYzNkG7puux44SDZNcJfs6qbWrLnp5zI/s72-c/IMG-20200605-WA0000.jpg
Rumah Bunyi
https://www.rumahbunyi.com/2020/06/lbert-camus-dari-tenggara-yang-akan.html
https://www.rumahbunyi.com/
http://www.rumahbunyi.com/
http://www.rumahbunyi.com/2020/06/lbert-camus-dari-tenggara-yang-akan.html
true
2473427367586082924
UTF-8
Lihat Semua Tulisan Halaman Tidak Ditemukan LIHAT SEMUA Selengkapnya Balas Batalkan Hapus Oleh Home HALAMAN ARTIKEL LIHAT SEMUA ARTIKEL LAINNYA LABEL ARSIP PENCARIAN SEMUA TULISAN Tulisan yang Anda cari tidak ditemukan. Kembali Ke Beranda Sunday Monday Tuesday Wednesday Thursday Friday Saturday Sun Mon Tue Wed Thu Fri Sat January February March April May June July August September October November December Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec just now 1 minute ago $$1$$ minutes ago 1 hour ago $$1$$ hours ago Yesterday $$1$$ days ago $$1$$ weeks ago more than 5 weeks ago Followers Follow THIS CONTENT IS PREMIUM Please share to unlock Copy Semua Code Pilih Semua Code Semua Code Telah Ter-copy Code/Teks Tidak Dapat Ter-copy, Silahkan Tekan [CTRL]+[C] (Atau CMD+C di Mac) Untuk Copy