Membaca Matinya Kepakaran Sebelum Membaca Buku "Matinya Kepakaran" karya Tom Nichols
03.13. saya baru saja tiba di rumah, menempuh perjalanan ratusan kilometer dari Bulukumba menuju Makassar. Beberapa hari terakhir ini saya memang sedang banyak menghabiskan waktu di jalan, melakukan perjalanan.
Pada perjalanan,, saya menemukan dan menjumpai begitu banyak pengetahuan dan kesadaran, yang sedang saya coba internalisasikan ke dalam diri saya, lalu setelahnya sangat mungkin akan saya share ke orang lain.
Saat Saya menuliskan catatan ini, saya baru saja membaca catatan yang ditulis oleh Buya Syafii Maarif, ia menceritakan proses bertemunya Ia dengan beberapa orang, di beberapa tempat, lalu ulasan singkatnya tentang sebuah buku yang dijumpainya di toko buku dengan kenyataan sosial yang dialaminya, yang tak disenanginya. Bagian "tak disenanginya" adalah interpretasi saya secara personal setelah membaca catatan tersebut. Saya harus menuliskannya.
Perjalanan tadi, kami tempuh dengan waktu kurang lebih 3 jam. Pada saat sudah dekat dari rumah, Bungkoku sempat bilang bahwa tadi kami berangkat sekitar jam 00.05. kami pulang setelah merasa telah melakukan semua agenda yang sedari awal kami jadikan tujuan, meski ada beberapa pertemuan berharga, yang sama sekali tidak direncanakan. Demikianlah kejutan demi kejutan secara sosial terjadi. Berjalan dan diperjalankan.
Sepertinya, saat sudah separuh perjalanan, saya terlibat perdebatan dan diskusi yang tak kalah berharganya, dengan Brother saya Andhika, yang sedang dicalonkan sebagai Anggota DPRD Kabupaten Bulukumba, Dapil Herlang, kajang dan bonto tiro, Nomor Urut 10, pada partai Nomor 10, Petiga orang orang menyebutnya.
Andhika menyebutkan bahwa saya mendebatnya, tapi menurut saya, saya tidak sedang mendebatnya, saya menyatakan bahwa saya sedang berdiskusi, mendiskusikan argumentasi yang diutarakannya, yang merupakan hal yang dirujuknya dari kitab atau kumpulan hadist yang dituliskan/diriwayatkan oleh Imam Bukhari.
Saya mempertanyakan ulang tentang apa itu berbohong, dan yang seperti apa yang dijadikan dasar untuk dikriteriakan seseorang berbohong. Bagaimana mungkin seseorang bisa dianggap berbohong saat ia sedang menjelaskan dan menyampaikan sesuatu yang diyakininya, diketahuinya, dan digaransikan kebenaran yang dialami secara langsung.
Saya mengajukan analogi, tapi analogi itu dimentahkan dan ditolaknya. Katanya tidak relevan dengan menganalogikannya dengan kebohongan yang seperti itu. Mamak dan Bungkoku yang sedang menyetir, menjadi saksi yang bisu bagi tema yang sedang kami diskusikan. Sesekali saya bertanya dan meminta keterlibatan mereka, tapi mereka memilih untuk mendengarkan dan lainnya menyetir saja. Brother Mappasomba yang tertua, saya pastikan tertawa terpingkal pingkal saat membaca catatan ini.
Bagi saya, kebohongan itu ada dan terjadi pada dua bentuk. Bentuk yang pertama adalah kebohongan dan ketidakbohongan secara sosial, agar terkesan religius saya mengulangnya dengan menyebut Kebohongan Habluminannas. Kebohongan atau ketidakbohongan yang akan saling dibuktikan saat terjadi antar sesama manusia. Terkadang kita menyatakan dengan sumpah bahwa kita sedang jujur atas apa yang sedang kita kemukakan. Semestinya, orang jujur tidak membutuhkan sumpah sebagai pembuktiannya kan? Di sanalah manusia membutuhkan lebih dari sekedar akal. Bentuk yang kedua adalah kebohongan dan ketidakbohongan teologis. Sederhananya, kita tidak perlu meyakinkan Tuhan Yang Maha Kuasa, apakah kita sedang berbohong atau tidak berbohong. Kita menyerahkan diri, menyerahkan segalanya.
Tulisan ini dibuat sedikit panjang bukan untuk melahirkan kebingungan. Sedikit panjang dengan penjelasan yang terbatas. Banyak hal yang kami diskusikan. Sejarah, Kisah sahabat nabi, Al-Qur'an, Hadits, Perawi hingga hal hal lain yang tidak untuk dibuka ke publik. Semisal bagaimana kemampuan penggunaan dan pemanfaatan kami atas teks yang sebaiknya tidak diungkapkan keseluruhannya ke Media Sosial. Ada metodologi dan penyampaian yang khusus, ada yang umum. Kemampuan itu harus bisa dikelola untuk memisahkan keduanya. Soal politik? Tidak!!! Itu bukan hal yang menarik bagi kami untuk didiskusikan/diperdebatkan berduaan.
Saya tiba di rumah, hampir pukul 03.00. beberapa saat itulah, saya membaca postingan Buya Syafii Maarif yang dibagikan oleh istri saya beberapa saat sebelumnya. Saya membacanya dengan sangat khidmat, sangat serius. Seperti saat saya membaca buku yang berjudul Rumah Kertas yang dituliskan oleh Carlos Maria Dominguez.
Catatan itu membuat saya mengingat kembali, hampir keseluruhan apa yang saya dan brother Andhika Perdebatkan/diskusikan saat melewati separuh perjalan. Kami mengutip referensi dan bacaan yang sahih, terverifikasi, dituliskan oleh pakar di bidangnya masing-masing, tapi kenyataan yang terjadi kemudian adalah bahwa kami berbeda dalam interpretasi, analisis dan posisi akal dalam melihat teks berdasarkan sumbernya.
Semoga kami dan kita semua dijauhkan dari "ngawur agresif, kedunguan" seperti istilah dan pembacaan Buya Syafii Maarif. Begini kutipan lengkapnya. ***Saya khawatir kita sedang menyaksikan ‘matinya ide ide kepakaran itu sendiri’ : kehancuran pembagian antara kelompok profesional dan orang awam, murid dengan guru, dan orang yang tahu dengan yang merasa tahu gara gara Google, Wikipedia, dan blog – dengan kata lain, antara mereka yang memiliki pencapaian di sebuah bidang dan mereka yang tidak memiliki pencapaian sama sekali. (hal 3)***
Ketika Oxford dictionary memasukkan Post Truth sebagai kosakata baru beberapa tahun yang lalu, maka di periode itulah, sebenarnya cikal bakal matinya kepakaran sedang bermunculan. Bagi saya, matinya kepakaran adalah penjelasan panjang dari Post Truth tersebut. Post Truth sedang dijelaskan detail oleh Tom Nichols. Buku inilah salah satu buku yang saya ingin miliki dan baca di awal tahun ini. Di tahun politik yang banyak menelan korban.
Kutulu, 04.46
08/01/2019
Ettanya Ainayya
03.13. saya baru saja tiba di rumah, menempuh perjalanan ratusan kilometer dari Bulukumba menuju Makassar. Beberapa hari terakhir ini saya memang sedang banyak menghabiskan waktu di jalan, melakukan perjalanan.
Pada perjalanan,, saya menemukan dan menjumpai begitu banyak pengetahuan dan kesadaran, yang sedang saya coba internalisasikan ke dalam diri saya, lalu setelahnya sangat mungkin akan saya share ke orang lain.
Saat Saya menuliskan catatan ini, saya baru saja membaca catatan yang ditulis oleh Buya Syafii Maarif, ia menceritakan proses bertemunya Ia dengan beberapa orang, di beberapa tempat, lalu ulasan singkatnya tentang sebuah buku yang dijumpainya di toko buku dengan kenyataan sosial yang dialaminya, yang tak disenanginya. Bagian "tak disenanginya" adalah interpretasi saya secara personal setelah membaca catatan tersebut. Saya harus menuliskannya.
Perjalanan tadi, kami tempuh dengan waktu kurang lebih 3 jam. Pada saat sudah dekat dari rumah, Bungkoku sempat bilang bahwa tadi kami berangkat sekitar jam 00.05. kami pulang setelah merasa telah melakukan semua agenda yang sedari awal kami jadikan tujuan, meski ada beberapa pertemuan berharga, yang sama sekali tidak direncanakan. Demikianlah kejutan demi kejutan secara sosial terjadi. Berjalan dan diperjalankan.
Sepertinya, saat sudah separuh perjalanan, saya terlibat perdebatan dan diskusi yang tak kalah berharganya, dengan Brother saya Andhika, yang sedang dicalonkan sebagai Anggota DPRD Kabupaten Bulukumba, Dapil Herlang, kajang dan bonto tiro, Nomor Urut 10, pada partai Nomor 10, Petiga orang orang menyebutnya.
Andhika menyebutkan bahwa saya mendebatnya, tapi menurut saya, saya tidak sedang mendebatnya, saya menyatakan bahwa saya sedang berdiskusi, mendiskusikan argumentasi yang diutarakannya, yang merupakan hal yang dirujuknya dari kitab atau kumpulan hadist yang dituliskan/diriwayatkan oleh Imam Bukhari.
Saya mempertanyakan ulang tentang apa itu berbohong, dan yang seperti apa yang dijadikan dasar untuk dikriteriakan seseorang berbohong. Bagaimana mungkin seseorang bisa dianggap berbohong saat ia sedang menjelaskan dan menyampaikan sesuatu yang diyakininya, diketahuinya, dan digaransikan kebenaran yang dialami secara langsung.
Saya mengajukan analogi, tapi analogi itu dimentahkan dan ditolaknya. Katanya tidak relevan dengan menganalogikannya dengan kebohongan yang seperti itu. Mamak dan Bungkoku yang sedang menyetir, menjadi saksi yang bisu bagi tema yang sedang kami diskusikan. Sesekali saya bertanya dan meminta keterlibatan mereka, tapi mereka memilih untuk mendengarkan dan lainnya menyetir saja. Brother Mappasomba yang tertua, saya pastikan tertawa terpingkal pingkal saat membaca catatan ini.
Bagi saya, kebohongan itu ada dan terjadi pada dua bentuk. Bentuk yang pertama adalah kebohongan dan ketidakbohongan secara sosial, agar terkesan religius saya mengulangnya dengan menyebut Kebohongan Habluminannas. Kebohongan atau ketidakbohongan yang akan saling dibuktikan saat terjadi antar sesama manusia. Terkadang kita menyatakan dengan sumpah bahwa kita sedang jujur atas apa yang sedang kita kemukakan. Semestinya, orang jujur tidak membutuhkan sumpah sebagai pembuktiannya kan? Di sanalah manusia membutuhkan lebih dari sekedar akal. Bentuk yang kedua adalah kebohongan dan ketidakbohongan teologis. Sederhananya, kita tidak perlu meyakinkan Tuhan Yang Maha Kuasa, apakah kita sedang berbohong atau tidak berbohong. Kita menyerahkan diri, menyerahkan segalanya.
Tulisan ini dibuat sedikit panjang bukan untuk melahirkan kebingungan. Sedikit panjang dengan penjelasan yang terbatas. Banyak hal yang kami diskusikan. Sejarah, Kisah sahabat nabi, Al-Qur'an, Hadits, Perawi hingga hal hal lain yang tidak untuk dibuka ke publik. Semisal bagaimana kemampuan penggunaan dan pemanfaatan kami atas teks yang sebaiknya tidak diungkapkan keseluruhannya ke Media Sosial. Ada metodologi dan penyampaian yang khusus, ada yang umum. Kemampuan itu harus bisa dikelola untuk memisahkan keduanya. Soal politik? Tidak!!! Itu bukan hal yang menarik bagi kami untuk didiskusikan/diperdebatkan berduaan.
Saya tiba di rumah, hampir pukul 03.00. beberapa saat itulah, saya membaca postingan Buya Syafii Maarif yang dibagikan oleh istri saya beberapa saat sebelumnya. Saya membacanya dengan sangat khidmat, sangat serius. Seperti saat saya membaca buku yang berjudul Rumah Kertas yang dituliskan oleh Carlos Maria Dominguez.
Catatan itu membuat saya mengingat kembali, hampir keseluruhan apa yang saya dan brother Andhika Perdebatkan/diskusikan saat melewati separuh perjalan. Kami mengutip referensi dan bacaan yang sahih, terverifikasi, dituliskan oleh pakar di bidangnya masing-masing, tapi kenyataan yang terjadi kemudian adalah bahwa kami berbeda dalam interpretasi, analisis dan posisi akal dalam melihat teks berdasarkan sumbernya.
Semoga kami dan kita semua dijauhkan dari "ngawur agresif, kedunguan" seperti istilah dan pembacaan Buya Syafii Maarif. Begini kutipan lengkapnya. ***Saya khawatir kita sedang menyaksikan ‘matinya ide ide kepakaran itu sendiri’ : kehancuran pembagian antara kelompok profesional dan orang awam, murid dengan guru, dan orang yang tahu dengan yang merasa tahu gara gara Google, Wikipedia, dan blog – dengan kata lain, antara mereka yang memiliki pencapaian di sebuah bidang dan mereka yang tidak memiliki pencapaian sama sekali. (hal 3)***
Ketika Oxford dictionary memasukkan Post Truth sebagai kosakata baru beberapa tahun yang lalu, maka di periode itulah, sebenarnya cikal bakal matinya kepakaran sedang bermunculan. Bagi saya, matinya kepakaran adalah penjelasan panjang dari Post Truth tersebut. Post Truth sedang dijelaskan detail oleh Tom Nichols. Buku inilah salah satu buku yang saya ingin miliki dan baca di awal tahun ini. Di tahun politik yang banyak menelan korban.
Kutulu, 04.46
08/01/2019
Ettanya Ainayya
COMMENTS