Saya dibesarkan dengan dongeng. Hampir setiap malam saat ingin tidur, nenek selalu mendongeng untuk kami bersaudara. Dongengnya tidak pernah jauh dari dunia binatang. Yang paling saya hapal adalah cerita tentang Monyet dan Kura-Kura. Nenek menyebutnya Pung Doeng na Pung Kura.
Dari sanalah saya mengenal moralitas atau nilai kebajikan yang terkandung dalam cerita. Sebab dalam cerita Monyet yang penuh kecurangan inilah harus berakibat pada hal buruk bagi dirinya sendiri. Akibat dari ketidakinginannya berbagi dan kerakusannya atau keserakahannya memakan buah yang lezat sendirian.
Meski telah menghapal cerita ini, tapi entah mengapa, di masa itu, selama bertahun-tahun, kami tidak pernah bosan mendengarkannya dari nenek. Malah, kami kerap yang memintanya mendongeng tentang Pung Doeng na Pung Kura ini.
Hal kedua setelah dongeng dari nenek kami ini adalah MANTRA. Ketika mulai mengenal rasa tertarik pada bocah perempuan tercantik di sekolah, di saat itu pula lah saya belajar mantra. Mantra penakluk sukma. Mantra yang dibaca untuk menawan hati orang yang kita sukai.
Saya telah menghapal mantra itu sejak masih duduk di Sekolah Dasar di Tanahberu, Bulukumba, Sulawesi Selatan. Saya merasa menemukan teman dekat pertama yang kerap membuat malam menjadi gelisah, nantilah pada usia kelas dua SMA di kota yang sama. Ini menjadi penanda bahwa di rentang jarak itu, mantra yang diajarkan nenek sungguh belumlah betul-betul ampuh menjerat hati pujaan.
Ada juga mantra lain yang menjadi akar kuat dan masih berefek hingga hari ini, yakni mantra pengusir setan (semua jenis mahluk halus). Saya mempelajari ini hampir bersamaan dengan mantra pertama tadi bersama mantra-mantra khusus lainnya. Mantra pengusir setan ini selalu menambah keyakinan bahwa jika telah dibaca, seluruh mahluk halus akan menghindar jauh.
Mungkin karena sejak bocah saya selalu yakin dengan mantra ini, kecenderungan saya untuk selalu berjalan/berpetualang dalam segala situasi dan medan itu tumbuh dengan akut. Berjalan ke berbagai situasi, berkendara ribuan kilometer (naik vespa) sendirian siang dan malam. Walaupun kini mantranya telah berubah menjadi doa, tapi, kenangan tentang nenek selalu saja hadir seperti kenangan pada dongeng yang saya masih kenang hingga kini.
Selain nenek, Bapak saya juga senang bercerita. Saya mengingat bahwa jika ada tamu yang datang ke rumah, biasanya cerita-cerita akan mengalir bergantian di antara mereka. Bedanya, tamu bapak biasanya datang dan berkisah tentang peristiwa heroik atau keberanian lainnya sedangkan bapak akan mengisahkan tentang perjalanannya bersekolah pada tahun 1960-an yang harus berjalan kaki 40 kilometer, hampir setiap hari Sabtu saat akan pulang berakhir pekan di kampungnya. Bapak juga kerap mengisahkan masa sekolahnya yang kadang kelaparan atau perjuangannya menjadi mahasiswa di tahun 1970-an.
Bapak pernah menceritakan bahwa pernah di suatu ketika dia ke Makassar menumpang mobil truk dan truknya mengalami kerusakan di Jeneponto. Selama empat hari dia harus ikut menjaga mobil truk tersebut. karena kehabisan perbekalan makanan, akhirnya bersama beberapa orang lainnya harus membuka muatan truk, beberapa dus biskuit. Beberapa ikat botol minuman bersoda dan mendapatkan air dari kubangan di tepi jalan.
Selain mendengarkan orang lain bercerita, sejak pandai membaca, saya suka membaca buku dongeng. Kesenangan ini sangat difasilitasi sebab keluarga dari pihak bapak dan keluarga dari pihak ibu saya kebanyakan adalah guru. Jadi, kemana pun saya berkunjung ke rumah keluarga, selalu ada buku yang dapat saya baca.
Pernah di sebuah malam, Bapak dan Ibu (almh.) menyampaikan kepada kami yang sedang duduk belajar; “ Kami tidak akan mewariskan apa-apa. Kami takut kalian akan berkelahi bersaudara. Jadi, kami hanya akan mewariskan ini! (sambil mengangkat sebuah pulpen).” Begitulah kami dibesarkan. Dididik tidak dengan memiliki sesuatu yang terang di ujung perjalanan. Hanya diperlihatkan sebuah pulpen.
Sejak tamat SMA tahun 1997, saya mengikuti keluarga ke Papua hingga memasuki beberapa wilayah pedalamannya ketika itu. Melihat Papua dari dekat setelah sebelumnya hanya melihat di TV dan membaca tentangnya. Mitos tentang penyakit Malaria dan panah Papua yang beracun membuat saya merasa bergidik juga pada awal-awal kedatangan ke Papua. Namun, apa yang dipikirkan dan fakta yang saya jalani tidaklah se-mengerikan mitos yang mengisi pikiran saya.
Dua tahun kemudian, pada pertengahan tahun 1999, saya menghabiskan waktu beberapa bulan di Ternate. Di pulau bergunung api aktif ini, membuat saya terasa dekat dekat dengan dunia penjajahan. Mungkin karena banyaknya benteng peninggalan kolonial. Saya juga merasa lebih mengenali dunia gunung berapi yang memang tidak pernah saya lihat sebelumnya di negeri asal saya, Sulawesi Selatan.
Pada akhir tahun 2000, saya memasuki dunia kampus setelah sebelumnya mengajar sebagai sukarela di sebuah Madrasah Tsanawiyah di kampung. Saat memperkenalkan diri pertama kali di hadapan ratusan mahasiswa baru di hari pertama Ospek, saat itulah saya menyebut diri saya dengan nama Pena yang saya gunakan hingga hari ini yakni; Andhika.
Sebagai mahasiswa sastra yang menyadari kedangkalan pengetahuan sastra yang akut, saya mulai memasuki dunia itu. Saya mulai membaca lebih intens dan mengenal nama-nama sastrawan yang mendunia dan mencintai dunia sejarah dan kebudayaan. Pada fase ini saya tak bisa melepaskan nama yang banyak memberikan inspirasi seperti Almarhum Dr. Ahyar Anwar (Sejarah, Kritik dan Teori Sastra), Prof. Dr. Nurhayati Rahman (Penerjemah La Galigo, memperkenalkan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan tempat bersejarah di Gowa dan Makassar, baik di dalam kelas maupun di luar perkuliahan di Uversitas Islam Makassar), dan Drs. Alwi Rahman (Sekolah Sore- Filsafat di Lepphas Unhas sebelum tahun 2009)
18 tahun (2000-2018) adalah waktu yang cukup panjang untuk saya berjuang untuk belajar lebih tekun memperdalam ilmu sastra dan terus menulis beragam karya sastra termasuk cerita pendek. Di rentang waktu itu pulalah, saya membaca karya-karya atau cerpen yang ditulis oleh penulis seperti A A Navis, Anton Chekov, Maxim Ghorky, Gerson Poyk, Badaruddin Amir (Barru), Seno Gumira Ajidarma, Hudan Hidayat, Anis Kurniawan (Makassar), Irhyl Makkatutu (Lelaki Gerimis), Rabinranath Tagore, Hamzad Rangkuti, Dahri Dahlan, Danarto, Rahmat Hidayat, dan sebagainya. Tapi untuk kategori buku novel, puisi, dan esai, tentu nama-nama yang saya dapat tuliskan dan telah saya baca karyanya tidak akan memuat halaman ini.
Demikianlah, saya berproses, berjalan, berpetualang ke tempat yang jauh, jatuh cinta, mencatat peristiwa, mencatat hal penting dan berkesan, mendengarkan orang bercerita, membaca, mendatangi tempat khusus yang asing, merancang atau megikuti pergerakan massa, terlibat politik, dan sebagainya untuk menemukan inspirasi dan bahan tulisan.
Tidak semua cerita pendek dalam buku ini pernah dimuat media terbitan Sulawesi Selatan dan tidak semua cerpen saya yang pernah diterbitkan media saya muat dalam buku ini. demikianlah, ada cerita yang sengaja saya biarkan berjalan bagai puisi-puisi saya, berjalan menjalani takdirnya dan tak dimasukkan ke dalam buku sebagai kumpulan. Seperti cerpen yang kami eksplorasi bersama sahabat seniman lain seperti Anis Kurniawan, Nursam Mattoreang, Ernawati Rasyid dan Roni Salassa Mappeware.
Bagi saya, cerita pendek sama saja dengan dunia sastra yang lainnya. Dia adalah sarana untuk menyampaikan gagasan. Sarana atau wadah untuk melakukan perlawanan atas ketidaksamaan tujuan, jalan pikiran atau pun cara pandang seseorang terhadap dunia. Ia juga dapat menjadi jembatan untuk menggapai benang spiritualitas untuk tiba pada titik kezuhudan dengan kata-kata. Jika tidak, sastra hanya akan tiba pada dua hal, yakni tepuk tangan dan perpustakaan sepi. Lalu, rohnya akan hilang dan menguap bersama awan hujan.
Saya kadang menyebut diri sebagai penulis cerpen yang penakut. Akibatnya, cerpen saya sangat sedikit. Boleh disebut bahwa selama 17 tahun menulis, saya tidak jauh melewati dari dua puluh judul cerpen. Ini efek dari terlalu berhati-hati, jangan sampai cerpen yang saya tulis bukannya mengantar ke Sorga, malah akan menuju ke arah yang lain.
Di lain sisi, saya menulis cerpen dan tidak sedang memburu predikat sebagai cerpenis atau pun memburu prestise lainnya dalam dunia kepenulisan. Saya menulis cerpen oleh karena ada banyak hal yang hanya bisa dijabarkan maksudnya dengan cerpen untuk menghidupkannya, tidak dengan sastra atau seni lainnya (saya lupa pernah mendapatkan kutipan ini di mana?).
Dongeng, mantra, buku bacaan, cerita dari Bapak, sederet nama, petualangan, pertemuan, dan sebagainya saya anggap adalah bagian dari proses menemukan hal-hal baru yang layak untuk dikisahkan sebab menjadi pemantik untuk menemukan kisah lainnya. Tanpa hal ini, cerita-cerita pendek yang saya tulis mungkin hanya akan menjadi pelengkap kegaduhan sastra Indonesia yang kadang sunyi dan pelengkap rak perpustakaan penggiat literasi nusantara yang sepi pengunjung.
Saya menulis cerita pendek dalam buku ini sebagai respons saya atas kenyataan. Ada hal yang melatarbelakangi kelahirannya. Dia tidak muncul begitu saja sambil duduk dan mengkhayalkan cerita, meskipun ini hanyalah sebuah karya imajinatif atau fiksi. Ada respons yang lahir di ruas jalan Jakarta, Bandung, Kalimantan Timur, Sebatik, Tarakan, Nunukan, Ternate, Papua dan hampir semua wilayah Sulawesi. Sebagian cerita dalam buku ini lahir dari riset yang cukup lama dan cukup menghabiskan banyak waktu dan materi.
Dari semua itu, setelah menikah tujuh tahun silam, anak dan Istri saya kadang tinggalkan berhari-hari lamanya. Sesuatu yang semestinya harus dibayar mahal dengan karya yang setimpal. Sebuah kenyataan lain dari perjalanan-perjalanan saya bertahun-tahun setelah menikah yang seolah tampak merdeka tanpa beban cinta yang menggunung di jiwa.
Sebagai proses, kisah ini tentu akan menjadi kisah kenangan yang manis dan menggetarkan ketika istri saya telah menjadi nenek dan anak saya juga telah menjadi bapak bagi anaknya. Mungkin mereka akan bercerita bahwa “Dahulu, ada seorang lelaki penulis cerita yang gemar bepergian dan selalu meninggalkan anak dan istrinya. Pada suatu hari, penulis itu mengalami Lakalantas, terperosok di lubang jalanan yang menganga, ditabrak mobil bis, berurusan dengan orang yang mengalami gangguan jiwa, bertemu perempuan putus asa, menabrak sapi dan terjatuh terpelanting ke aspal, lalu buku-bukunya di kemudian hari menjadikan hidupnya lebih tenang, sejahtera, sosialis, dan kerap bertamu ke Baitullah .............?”
”Pada suatu hari di tahun 2016, dia menggambar sebuah peta di dinding kamar hatinya dan menulis sebuah nama kampung yang sebelumnya tak ada di dalam peta Republik Indonesia sejak tahun 1966. Kampung itu bernama KINOKOT.”
Demikianlah kisahnya dimulai!
Gowa- Makassar, 2018
Andhika Mappasomba Daeng Mammangka
COMMENTS