Essai : Tubuh Perempuan Dalam Sastra (Bagian 2)


TUBUH PEREMPUAN DALAM SASTRA
Oleh : Nurlailatul Qadriani


Jika dikaitkan dengan perkembangan kebudayaan, maka akan sangat jelas terlihat bagaimana masyarakat menjadi sangat dipengaruhi oleh mistik  kecantikan . Hal ini juga terjadi dalam kesusastraan Indonesia modern. Maka lahir karya-karya yang lebih banyak menggambarkan tentang perempuan dan tubuhnya.


Perempuan telah dikonstruksi oleh berbagai macam mitos yang menganggap bahwa perempuan adalah yang derajatnya lebih rendah dari laki-laki. Lebih lanjut Gadis Arifia dalam sebuah tulisannya pada jurnal perempuan  menjelaskan bahwa kedudukan penulis perempuan memang sulit. Para penulis perempuan seperti perempuan-perempuan pada umumnya telah dikonstruksi di dalam masyarakat sebagai yang ”lain” atau memiliki jenis kelamin yang ”kedua” (bukan yang diunggulkan), jenis kelamin ini telah dilabelkan lemah, tidak bisa dipercaya, perlu dilindungi, tidak mandiri, dan sebagainya. Perempuan selalu berada pada dunia kedua setelah laki-laki.

Dari tradisi Balai Pustaka hingga angkatan 80-an (yang sangat jelas bahwa tradisi ini merupakan bentukan kolonial), karya sastra lebih banyak didominasi oleh pengarang laki-laki. Dan tubuh perempuan dalam perspektif laki-laki, jelas berbeda dengan tubuh perempuan yang digambarkan oleh pengarang perempuan. Perempuan dalam karya laki-laki, cenderung sopan, manis, tunduk pada laki-laki, seseorang yang dituntut menjadi ibu rumah- tangga yang baik, namun sering pula digambarkan sebagai seseorang yang selalu menggoda kaum laki-laki. Sebuah penggambaran akan hal negatif tentang perempuan itu sendiri sebagai seorang penggoda.

Sementara itu, katakan saja pada masa Ayu Utami, dkk  (angkatan 2000-an) yang juga sebagai pencetus lahirnya sastra wangi, perempuan dalam karya sastra muncul lebih terbuka membicarakan tubuh dan pikirannya sendiri. Karya-karya penulis perempuan seperti Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu, dan Dinar Rahayu misalnya, secara gamblang menggambarkan perempuan sebagai kaum yang juga memiliki kebebasan, yang tidak harus terpaku pada aturan rumah tangga sebagai seorang yang harus selalu berada di bawah laki-laki, perempuan yang selalu dicitrakan menjadi orang-orang kedua setelah laki-laki.

Dampak dari kolonialisme tidak hanya pada sikap yang serba materialistik. Akan tetapi juga mulai menyebar pada hal-hal yang immaterial. Penjajahan tidak hanya terjadi pada bentuk fisik yang terlihat secara nyata, tapi juga pada penjajahan mental dan pikiran yang diwujudkan pada peguasaan identitas dan penamaan kaum yang terjajah baik di dalam sisi-sisi budaya sosial yang dibentuk sesuai dengan kepentingan kolonialisme yang secara sistematis diselipkan melalui pendidikan, sistem sosial, agama, kesenian, bahkan sampai pada gender, tradisi, seksualitas, dll.
Novel Saman karya Ayu Utami dengan sangat lugasnya menggambarkan tentang cinta dan seks, namun juga tak melepaskan diri dari penggambaran politik dan agama yang dilakoni oleh setiap tokohnya dengan sangat luwes dan bebas. Ayu sama sekali tidak mengikatkan diri pada aturan-aturan sosial yang ada. Setiap tokoh perempuan dalam novel ini sangat jelas menampakkan eksistensinya sebagai seorang perempuan yang bebas dan merdeka. Seperti halnya ia menggambarkan tokoh Shakuntalasecara amat sangat bebas dan terus terang.

Poskolonial memandang hal ini sebagai sebuah bentuk persoalan-persoalan dasar seperti tradisi, relasi kuasa, gender, hingga kaum yang minoritas. Tokoh shakuntala yang berhadapan dengan keluarganya dapat dianalogikan sebagai seseorang yang ingin melepaskan diri dari kekuasaan ayah dan kakak-perempuannya. Secara umum tokohShakuntala ini dianalogikan pula sebagai seseorang yang mewakili gambaran perempuan yang dikuasai oleh adat dan keluarganya sendiri.

Perempuan juga hadir di ruang-ruang publik yang justru tidak memerdekakannya, sehingga ia akan merasa mendapatkan kemerdekaannya ketika perempuan membebaskan dirinya dari keterkungkungan yang membelenggunya. Membebaskan diri dari segala beban dengan bebas dan leluasa. Perempuan telah harus menjadi dirinya sendiri, baik ketika ia berada di ruang pribadi masing-masing, maupun berada di ruang publik dan lingkungan sosial.

Tak jauh berbeda dengan Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu juga banyak menampilkan penggambaran tokohnya sebagai seorang perempuan yang liar, yang tidak meluluh terpaku pada aturan-aturan adat dan norma-norma kesopanan yang setiap saat harus dilakoni seorang perempuan. Djenar selalu menampakkan bahwa setiap perempuan juga seorang pribadi yang bebas dan merdeka. Pada kumpulan cerpennya sendiri, ia banyak melukiskan watak perempuan yang merdeka dan memerdekakan dirinya, Jangan Main-Main dengan Kelaminmu, adalah salah satu karya Djenar yang dengan jelas dan lugas memaparkan kebebasan tubuh dan diri perempuan.

Djenar dengan sangat terbuka mengilustrasikan kebebasannya dalam berimajinasi. Djenar tidak lagi merasa tabu untuk menampilkan kebebasannya dari segala arah. Ia tidak lagi memerlukan aturan-aturan kesopanan dalam menggambarkan segala yang ada di fikirannya. Perempuan yang merdeka dari segala fikiran dan kehidupan sosialnya.

Sejalan dengan Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu, Dinar Rahayu juga secara spontanitas memaparkan gambaran tokoh-tokoh perempuan dalam salah satu novelnya Ode untuk Leopold Von Sacher-Masoch. Novel ini sendiri menggambarkan pengalaman-pengalaman manusia yang menunjukkan perilaku seksual seperti Sadomasochisme, pengabdian seksual, inses, dan transeksual. Dalam novel ini perempuan digambarkan sebagai monster yang kejam, ingin mendominasi, pemerkosaan serta penyiksaan sesuai dengan fantasi seksual yang liar oleh pelakunya.Tak ada kata yang tabu dan penggambaran yang secara jujur dikemukakan oleh Dinar. Seorang perempuan yang tidak lagi terikat pada aturan kesopanan yang berlaku. Bagaimana Dinar mengungkapkan secara gamblang tentang penggambarannya akan erotisme laki-laki dan perempuan.

Dari beberapa penggambaran tokoh-tokoh perempuan dalam karya sastra yang diwakili oleh Ayu Utami, dkk. Jelas terlihat, bahwa ada misi yang diusung oleh para pengarang perempuan ini. Mereka tidak berjuang secara nyata layaknya melawan seorang penjajah di masa peperangan terjadi ataupun dengan berkoar-koar menghujat kaum lelaki. Para penulis perempuan ini justru melakukan hal yang amat sangat luar biasa, yaitu melawan keterkungkungan dan perbedaan-perbedaan yang ada dengan memunculkan diri sebagai perempuan yang mempunyai karya. Menampilkan diri sebagai seseorang yang memiliki eksistensi dalam lingkungan sosial. Perempuan tidak hanya meluluh selalu menjadi orang yang kesekian kalinya setelah laki-laki. Penulis-penulis perempuan menjadikan isu ini sebagai suatu bentuk pembelaan serta menegaskan akan eksistensi kaum perempuan itu sendiri.

Menjamurnya karya sastra perempuan menjadi sebuah bentuk perhatian baru oleh masyarakat akan kehadiran kaum perempuan di tengah-tengah masyarakat. Dari beberapa karya-karya penulis perempuan ini pula jelas bahwa mereka hendak membongkar keterkungkungan yang dibentuk oleh kaum-kaum borjuis. Ayu Utami, dan Djenar Maesa Ayu sebagai perempuan-perempuan yang berada pada kelas menengah banyak mengetengahkan karya-karyanya pada permasalahan perempuan-perempuan kelas menengah itu sendiri. Maka tak salah jika dikatakan bahwa mereka mengkritisi apa yang terjadi pada kelas mereka sendiri, kelas-kelas borjuis. Membongkar hal-hal yang selalu dianggap tabu untuk diperbincangkan, dan karya sastra hendaknya menjadi jembatan yang secara jujur menjadi penghubung antara lingkungan dan masyarakatnya.

Ironisnya, pada sisi yang lain, ketika perempuan mulai maju dan menunjukkan eksistensinya di hadapan masyarakat utamanya dalam karya sastra, beberapa pengarang perempuan, semisal Ayu Utami sendiri masih juga terjebak pada ukuran kecantikan yang dibentuk oleh kolonial sejak dulu. Dalam karya-karyanya yang lugas dan berani Ayu Utami masih tetap saja menggunakan ukuran kecantikan pada umumnya, dengan badan yang tinggi langsing dan kulit yang putih menjadi penggambaran umum seorang perempuan. Ayu masih sangat jarang menggambarkan perempuan yang cantik itu dengan gambaran yang justru sebaliknya, bertubuh gemuk atau berkulit hitam. Hal ini seolah paradoks dengan isu yang selama ini mereka usung dalam karya-karyanya. Tentang pembebasan karakter dan menjadi diri sendiri. Para penulis perempuan ini pun masih terjebak pada aturan-aturan kecantikan dan kemolekan tubuh secara menyeluruh.

Perempuan dan tubuhnya akan selalu tetap menjadi sebuah perbincangan yang panjang. Secara genealogis, pewacanaan yang diskursif akan tetap menempatkan ideologi tubuh mereka menjadi sesuatu yang akan selalu menimbulkan inspirasi juga kontreversi baik dalam lingkungan kaum laki-laki maupun kaum perempuan itu sendiri.

COMMENTS

"BELAJAR ITU SEUMUR HIDUP"
Banner99
Nama

--V,2,Ahmad Muthahier,1,Amrul Nasir,1,Andhika Mappasomba,5,Aprinus Salam,1,Azizaturahmi Madil,1,Bahasa,1,Bicara Buku,6,bookstore,1,buku,1,Celoteh,15,Cerpen,9,Citizenship,1,Citra Deviyanti,1,Cucum Cantini,2,Dwi Novita Rahayu,1,Essai,13,Ettanya Ain,12,Faika Burhan,1,Inspiratif,1,Iphy Nerazzurri,1,Irhyl Makkatutu,1,Ismail Fathar Makka,1,Iwan Djibran,1,Kendari,2,La Hingke,1,La Ode Gusman Nasiru,1,Lailatul Qadriani,6,Literasi,1,Muhammad Agung,2,Muhammad Yusuf Abdan,1,Novel,2,Nurul Mutmainnah,1,Pendidikan,2,Penerbitan,2,Puisi,5,Raya Pilbi,2,Reportase,13,Resensi Buku,1,Review,5,Ridwan Demmatadju,1,Salim Kramat Alverenzo,1,sastra,1,Sinopsis,1,SOGI,1,Sosial Budaya,1,sosial politik,2,Terbitan,19,Yusuf IW,1,
ltr
item
Rumah Bunyi : Essai : Tubuh Perempuan Dalam Sastra (Bagian 2)
Essai : Tubuh Perempuan Dalam Sastra (Bagian 2)
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiRhl2qlDH4nGpVrPSQyatJl6gOY7w8xiI8T0w0DSrFQEfZSmLlUy-dWYmsBHjLZUOvt-MzY7IveN0srbEDlzFgvKSRCiAqIV_UtA6VGr44zyPVsJg0SQ2tVEEYxo3YGXAh8XOk1ZSLq6E/s400/Screenshot_2018-02-27-00-54-15_1519664662894.jpg
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiRhl2qlDH4nGpVrPSQyatJl6gOY7w8xiI8T0w0DSrFQEfZSmLlUy-dWYmsBHjLZUOvt-MzY7IveN0srbEDlzFgvKSRCiAqIV_UtA6VGr44zyPVsJg0SQ2tVEEYxo3YGXAh8XOk1ZSLq6E/s72-c/Screenshot_2018-02-27-00-54-15_1519664662894.jpg
Rumah Bunyi
https://www.rumahbunyi.com/2018/03/essai-tubuh-perempuan-dalam-sastra.html
https://www.rumahbunyi.com/
http://www.rumahbunyi.com/
http://www.rumahbunyi.com/2018/03/essai-tubuh-perempuan-dalam-sastra.html
true
2473427367586082924
UTF-8
Lihat Semua Tulisan Halaman Tidak Ditemukan LIHAT SEMUA Selengkapnya Balas Batalkan Hapus Oleh Home HALAMAN ARTIKEL LIHAT SEMUA ARTIKEL LAINNYA LABEL ARSIP PENCARIAN SEMUA TULISAN Tulisan yang Anda cari tidak ditemukan. Kembali Ke Beranda Sunday Monday Tuesday Wednesday Thursday Friday Saturday Sun Mon Tue Wed Thu Fri Sat January February March April May June July August September October November December Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec just now 1 minute ago $$1$$ minutes ago 1 hour ago $$1$$ hours ago Yesterday $$1$$ days ago $$1$$ weeks ago more than 5 weeks ago Followers Follow THIS CONTENT IS PREMIUM Please share to unlock Copy Semua Code Pilih Semua Code Semua Code Telah Ter-copy Code/Teks Tidak Dapat Ter-copy, Silahkan Tekan [CTRL]+[C] (Atau CMD+C di Mac) Untuk Copy