Essai : Jalan Sunyi Rumah Bunyi

Jalan Sunyi Rumah Bunyi
Oleh : La Ode Gusman Nasiru ( Pengajar di Universitas Haluoleo)

      Kala itu, Saudara tidak akan mendengar perihal identitas Kahar Mappasomba di percaturan seni dan literasi Sulawesi Tenggara. Tanyalah kepada siapa saja, setidaknya dalam periode tiga atau empat tahun lampau, namanya tidak tercatat dalam satu pun manuskrip perkembangan seni dan literasi provinsi ini. Saya menyebut seni dan literasi sebagai dua entitas yang bertalian, sebab dalam konteks termaksud para pelaku dari dua kelompok kerja humanitas itu biasanya memiliki irisan dari sehimpunan aktivitas mereka. Siapa yang menekuni pentas sastra, biasanya bersinggungan dengan orang-orang yang bergelut di geliat literasi. Demikian sebaliknya. 
Kahar, selanjutnya begitu ia disapa, bukan penyair. Tidak menulis cerpen, apalagi novel. Ia bukan seorang profesional di bidang pendidikan. Seniman dan akademisi, paling tidak punya alasan bersentuhan dengan denyut literasi di kota ini. Sementara ia bukan siapa-siapa.
Di 2014, belahan jiwanya lolos seleksi penerimaan dosen. Setahun setelahnya mereka menikah. Jadilah sepasang kekasih itu warga Kendari. Sebagai perantau dari Selatan—sebutan untuk pendatang yang berasal dari Sulawesi Selatan—Mereka perlu mengerahkan segala kemampuan demi kepentingan adaptabilitas. Kahar meluaskan pergaulan ke para akademisi, kalangan seniman, hingga mahasiswa. Di bidang sastra, ia melihat ada ketimpangan. Mahasiswa di kelas-kelas sastra kekurangan bibliografi untuk tugas-tugas kuliah mereka.  Ada yang salah dengan ini semua. Demikian ia merespon kenyataan.
Tentu lazim bagi mereka yang bergelut di kesenian atau di lembaga-lembaga pendidikan dengan jurusan sastra di dalamnya, gelisah lantas memikirkan jalan keluar bagi para seniman, penikmat dan—terutama—mahasiswa sastra. Lulusan fakultas Hukum bisa apa demi menyikapi hal yang demikian? Saya tidak sedang bersikap apatis kepada para calon hakim, jaksa, atau pengacara. Mereka yang berada di zona kerja dengan lahan “basah”. Oh, tidak. Kita tidak akan berharap banyak kepada mereka yang enggan bersentuhan dengan kerja humanitas.
Kahar, pemuda bermasa depan cerah ini lantas banting stir. Tidak membangun firma hukum atau menjelma pembuat akta tanah. Tidak menjadi konsultan partai-partai politik atau jadi mafia hukum kelas teri. Ia meninggalkan kesempatan berkarir sebagai yuris. Melepaskan kesempatan meraup pundi-pundi ekonomi. Ia lantas berjualan buku. 
Rumah Bunyi ia pilih sebagai nama bagi komunitasnya. Beberapa mahasiswa homeless tetapi haus ilmu silih berganti memadati kontrakan kecilnya siang dan malam. Siang dan malam, dalam makna denotatif. Buku yang ia dagangkan tidak serta-merta tertutup untuk diakses orang-orang kere dan miskin ilmu pengetahuan seperti kebanyakan mahasiswa di kelas tempat istrinya juga mengajar. Rumahnya lantas berubah sanggar membaca, selain juga lapak buku dagangan. 
Hampir dua tahun ini, saya harus bolak-balik meminta kesediaan satu dua sejawat di Jogja demi mengirimkan beberap buku yang diperlukan mahasiswa. Kelas-kelas kritik feminisme, poskolonialisme, penulisan esai, panduan pengkajian puisi menjadi kering karena keterbatasan pustaka. Saya tidak bisa menyalahkan daya baca mahasiswa yang memalukan dengan kondisi seperti ini. Mereka bukan malas membaca. Mereka, kebanyakan tidak tahu harus memperoleh bahan bacaan dari mana.
Kesabaran saya hampir habis. Saya mempersilakan mereka sekadar mengakses bahan dari internet yang juga begitu jarang memenuhi standar bahan ajar yang sudah saya rancang. Kahar, kemudian menangkap kesan ini. Ketika Saya dan beberapa kawan lain hampir menyerah, Ia datang menyelamatkan hidup kami bagai Mesiah. Ia menyediakan ratusan buku, membuka keran sumbangan buku dari teman-temannya di luar kota. Memesan buku-buku babon karya masterpiece penulis-penulis dunia dari penerbit-penerbit berkelas. Jaringan perkawanannya yang luas mempermudah niat menghadirkan taman baca di tengah kering tradisi literasi kota ini. Kahar dan Rumah Bunyi membasuh lapar-dahaga mahasiswa sastra. 
Rumah Bunyi semula dimaksudkan sebagi gerakan sederhana yang berupaya ikut serta dalam mewujudkan peradaban tercerahkan melalui kegiatan literasi. Kegiatan yang menekankan aspek membaca, menulis, dan berdiskusi bagi siapa saja yang tertarik ingin bergabung memanfaatkan momentum dan ketersediaan bahan baca. 
Sering waktu, Kahar tampak tidak cukup terpuaskan dengan membangun sebuah gerakan membaca demikian. Buku-buku sumbangan dari berbagai pihak, memang cukup membantu. Akan tetapi, jumlahnya belum cukup untuk memenuhi semua permintaan membaca yang semakin hari kian meningkat. Ini tentu kabar bahagia. Animo membaca yang sebelumnya berada di level kecambah, kini mulai menampakkan diri sebagai tunas-tunas pohon yang bersemi dalam kesegaran dan daya hidup. Atas usulan seorang kawan lainnya, Kahar diminta mengelola dan mendirikan bookstore. Ia tidak ingin menampik saran konstruktif tersebut, tentu saja, tetapi di lain pihak juga tidak dapat meninggalkan Rumah Bunyi yang telah ia rasakan membawa manfaat yang tidak sedikit bagi mahasiswa yang membutuhkan. Di sinilah niat itu tercetus; ia meleburkan Rumah Bunyi dengan sistem “membaca di tempat” dan Bookstore yang mempersilakan bagi siapa saja yang ingin membeli buku atau memesan koleksi yang belum tersedia. 
Langkah merger ini ditempuh dengan tujuan tidak mematikan salah satunya. Ia menyediakan tempat dan pustaka sekaligus melayani pemesanan buku di luar kota. Sulawesi Tenggara memang menyediakan Gramedia sebagai Bookstore mayor. Sayang, isinya tidak begitu menunjang bagi mereka yang ingin mendalami teori dan kritik sastra. Buku-buku bergenre popular menjadi andalan di Gramedia, tetapi tidak untuk mahasiswa sastra.
Saya masih belum menemukan bagaimana Kahar memisahkan jenis buku yang boleh dibaca dan hanya boleh dibeli dalam Rumah Bunyi Bookstore. Ia mempersilakan siapa saja untuk membaca Seratus Tahun Kesunyian, misalnya, tetapi juga sekaligus menjual buku dengan judul yang sama. Banyak buku yang mendapat perlakuan serupa. Seperti tidak ada batasan, tergantung keinginan dari pembaca atau calon pembeli. Berniat membaca di tempat atau berniat memiliki adalah dua opsi yang membuat pengunjung Rumah Bunyi Bookstore memutuskan menyediakan waktu mereka, kapan pun mereka mau, untuk membaca di tempat—Kahar bahkan menyediakan waktunya untuk sekadar diskusi mengenai isi buku—atau untuk membuat buku yang mereka senangi berganti kepemilikan. Ya, tergantung keinginan pembeli.
Prinsip perkawanan sekaligus perdagangan seperti ini yang membuat nama Kahar sontak menjadi salah satu ikon penjual di kota ini. Ia membuka peluang sebebas-bebasnya kepada siapa saja untuk membaca buku di rumahnya, tanpa harus membeli. Atau, mengganti kepemilikan buku dengan syarat membelinya terlebih dahulu. Sesimpel itu cara kerja Kahar. Cara kerja yang sangat bersahaja.  
Di kelas saya ampu, ada beberapa mahasiswa yang dekat dengan Rumah Bunyi. Mereka saya kelompokkan sebagai mahasiswa dengan intelegensi yang biasa-biasa saja. Meski saya tahu, beberapa di antara mereka, yang mulai mengenal diri mereka sendiri, gelisah dengan perkembangan proses pembelajaran yang biasa-biasa saja. Perlahan, mereka mulai mencari aktivitas belajar di luar kampus. Hingga kemudian biduk pencarian mereka tertambat di pelabuhan yang bernama Rumah Bunyi Bookstore. Mereka mendapat angin segar dari kemurahan hati sang pemilik. Mereka menghabiskan jam kosong di kampus dan malam-malam begadang khas anak muda dengan melahap buku-buku yang disediakan Kahar di kontrakan kecilnya.  
Setahun berikutnya, saya mendapati kenyataan yang membuat saya—pernah—berkaca-kaca untuk itu. Mahasiswa saya, yang sebelumnya tidak pernah saya lirik di kelas, kini mulai lincah berbicara tentang isi Quo Vadis karya Henryk Sienkiewick yang mempesona. Ia membaca sampai dua kali dan mengajak saya berdiskusi tentang isi novel. Saya menolak dengan alasan banyak kelas, padahal saya pun belum sempat membacanya. Mahasiswa saya yang lain mulai paham bagaimana gejolak sejarah negeri ini melalui karya Hendri Tedja dalam Tan. Dua hal yang tidak mampu saya sediakan di ruang kelas. Mahasiswa-mahasiswa saya yang lain, yang tercerahkan melalui peran Kahar, pelan-pelan tersadarkan bahwa mereka tidak akan berakhir sebagai penghafal kita suci. Ini hal yang sejak awal membuat saya khawatir. Gerakan radikal di kota saya begitu masif dan memuakkan. Dan Kahar, tida merasa telah melakukan apa-apa. 
      Kala itu, Saudara tidak akan mendengar perihal identitas Kahar, pemilik Rumah Bunyi Bookstore, di percaturan seni dan literasi Sulawesi Tenggara. Di tiga-empat tahun lampau Kahar, buan siapa-siapa. Tidak satu pun manuskrip sejarah literasi dan seni di Sulawesi Tenggara mencatat namanya. Kini, tanyalah kepada seniman atau penyair, atau calon penyair dan calon akademisi di kota ini, di mana kita bisa membeli buku atau numpang baca dengan bonus segelas teh hangat. Tanyalah kepada pegiat sastra atau komunitas-komunitas literasi, kepada siapa kita bisa memesan buku-buku babon karya penulis-penulis dunia dengan harga yang tidak jauh beda dengan harga buku di tanah Jawa, misalnya. Saudara tidak akan menemukan nama selain Kahar atau sanggar membacanya atas pertanyaan yang Saudara utarakan. 
Kahar hanya penjual buku!

Kendari, 1 Maret 2018.

COMMENTS

"BELAJAR ITU SEUMUR HIDUP"
Banner99
Nama

--V,2,Ahmad Muthahier,1,Amrul Nasir,1,Andhika Mappasomba,5,Aprinus Salam,1,Azizaturahmi Madil,1,Bahasa,1,Bicara Buku,6,bookstore,1,buku,1,Celoteh,15,Cerpen,9,Citizenship,1,Citra Deviyanti,1,Cucum Cantini,2,Dwi Novita Rahayu,1,Essai,13,Ettanya Ain,12,Faika Burhan,1,Inspiratif,1,Iphy Nerazzurri,1,Irhyl Makkatutu,1,Ismail Fathar Makka,1,Iwan Djibran,1,Kendari,2,La Hingke,1,La Ode Gusman Nasiru,1,Lailatul Qadriani,6,Literasi,1,Muhammad Agung,2,Muhammad Yusuf Abdan,1,Novel,2,Nurul Mutmainnah,1,Pendidikan,2,Penerbitan,2,Puisi,5,Raya Pilbi,2,Reportase,13,Resensi Buku,1,Review,5,Ridwan Demmatadju,1,Salim Kramat Alverenzo,1,sastra,1,Sinopsis,1,SOGI,1,Sosial Budaya,1,sosial politik,2,Terbitan,19,Yusuf IW,1,
ltr
item
Rumah Bunyi : Essai : Jalan Sunyi Rumah Bunyi
Essai : Jalan Sunyi Rumah Bunyi
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjAHLloQpRFSZSoVddatK8Lto8VCb3EJ4fGtxFhbsghnU2COKg0rHYXJqNvnbwhjNE8fwvWYSHQQldGKIqjPebSbkub7NzKUInRCRkV-sstpi5yRr0BIp_VQwSBOFXWisNFtaqRvLYUvY0/s400/Screenshot_2018-02-27-00-53-38_1519664768125.jpg
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjAHLloQpRFSZSoVddatK8Lto8VCb3EJ4fGtxFhbsghnU2COKg0rHYXJqNvnbwhjNE8fwvWYSHQQldGKIqjPebSbkub7NzKUInRCRkV-sstpi5yRr0BIp_VQwSBOFXWisNFtaqRvLYUvY0/s72-c/Screenshot_2018-02-27-00-53-38_1519664768125.jpg
Rumah Bunyi
https://www.rumahbunyi.com/2018/03/essai-jalan-sunyi-rumah-bunyi.html
https://www.rumahbunyi.com/
http://www.rumahbunyi.com/
http://www.rumahbunyi.com/2018/03/essai-jalan-sunyi-rumah-bunyi.html
true
2473427367586082924
UTF-8
Lihat Semua Tulisan Halaman Tidak Ditemukan LIHAT SEMUA Selengkapnya Balas Batalkan Hapus Oleh Home HALAMAN ARTIKEL LIHAT SEMUA ARTIKEL LAINNYA LABEL ARSIP PENCARIAN SEMUA TULISAN Tulisan yang Anda cari tidak ditemukan. Kembali Ke Beranda Sunday Monday Tuesday Wednesday Thursday Friday Saturday Sun Mon Tue Wed Thu Fri Sat January February March April May June July August September October November December Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec just now 1 minute ago $$1$$ minutes ago 1 hour ago $$1$$ hours ago Yesterday $$1$$ days ago $$1$$ weeks ago more than 5 weeks ago Followers Follow THIS CONTENT IS PREMIUM Please share to unlock Copy Semua Code Pilih Semua Code Semua Code Telah Ter-copy Code/Teks Tidak Dapat Ter-copy, Silahkan Tekan [CTRL]+[C] (Atau CMD+C di Mac) Untuk Copy