Cerpen : Lelaki Yang Kekasihnya Adalah Laut ( Cucum Cantini )


LELAKI YANG KEKASIHNYA ADALAH LAUT
Oleh : Cucum Cantini


Cinta itu adalah candu. Yang membuatmu rindu dan tak bisa tidur. Penawarnya hanyalah dua; kau singgahi selalu; atau kau menariknya ke dalam palung hatimu hingga kalian merasa sesak dan muak.


“Setelah kehilangan dirinya, dia kemudian menyadari kehadirannya di masa lampau sangatlah berharga.” Mengakhiri ceritanya, lelaki itu lalu menyeka keringat di dahinya.

Suaranya lantang, seolah melawan riuh ramai sekitar. Meskipun demikian, kisah yang dilantunkannya seakan bernada. Ada suara perih di dalamnya. Seakan menceritakan cerita pedih seorang merana kehilangan kekasihnya. Padahal bukan itu, yang sampai kisah itu tandas, kami bukan tengah berada dalam kisah romantika manusia.

Berbeda dengan pantai-pantai lain yang pernah kukunjungi, tempat ini sangatlah terik tanpa terasa adanya angin. Angin yang kadang-kadang menghembuskan aroma lautan. Seolah menyampaikan suara-suara kerinduan di dalamnya.

Sekalinya aroma tercium, bau solar menerpa penciumanku. Menyadarkan keberadaan kami di sebuah pantai yang minim pasir.  Diramaikan toko-toko besar dan warung kopi beserta pisang epe di sepanjang jalannya.

“Lihat itu! Tanda yang dibuat khusus untuk dia, meski sudah bukan lagi jadi bagiannya.” Tunjukknya pada tulisan besar berwarna merah di sisi Pantai Losari. Mandar.

Di sepanjang Pantai Losari, nama-nama suku di Sulawesi Selatan terbenam kuat, berdiri kokoh, dan dibuat besar bukan sebagai tanda bagi pengunjung untuk sekedar berfoto di depannya. Nama-nama suku itu menjadi identitas kebanggaan Sulawesi Selatan, dan Mandar yang bukan menjadi bagiannya lagi, masih berada di bibir pantai, diantara momen-momen yang dimonumenkan.

Sore yang sangat tanggung, dua jam menuju senja adalah waktu dimana terik seolah mencubit-cubit kulit. Kemejaku basah dan kaki sudah mulai tidak nyaman di dalam sepatu boots yang sedari pagi kupakai dari kampus di Jalan Perintis.

Setelah sama-sama antusias untuk bertemu mendadak sore itu, kami yang hanya pernah sekali bertemu di Polewali Mandar, kemudian merasa masih banyak hal untuk dibagi sebelum kami sama-sama pulang ke kampung halaman masing-masing esok hari.

Lelaki Mandar, kujuluki dia. Bersama rombongannya telah menaklukkan lautan selama dua puluh jam dari Polewali ke Makassar. Bukannya lupa daratan, mereka membawa setumpuk kebanggaan mengenalkan perpustakaan bergerak, perpustakaan dalam perahu.

Kontras kurasa, ketika aku datang dengan tema digitalisasi perpustakaan, mereka di pulau ini bersusah-payah membentangkan layar. Tapi tidak demikian dengan mereka, anggapan bahwa siapapun yang beritikad baik demi kelestarian literasi, adalah dianggap sama-sama satu gagasan.

Itu yang membuatku merasa disambut di Pulau Sulawesi. Ketika di Pulau Jawa semua tengah sibuk melestarikan naskah dan pustaka, mereka di sini merangkak-rangkak mengupayakan pergerakan membaca.

“Perahu itu ibarat batok kelapa. Kena angin sedikit maka terbalik dengan cepatnya.” Dia menceritakan pengalaman seorang duta literasi nasional yang sempat jadi korban perahu terbalik, saat itu dia bercerita sudah hampir mau mati saja. Takut dengan sorotan media terhadap jeleknya infrasruktur di Mandar.

“Tetapi nyatanya, Akang itu terbahak-bahak meski nyemplung di sungai.” Sambil tertawa Lelaki Mandar itu bicara.

Sebagai seorang relawan, dia memiliki banyak peran dalam pelestarian Mandar. Kemudian dia bersumpah-setia pada pelestarian mangrove, yang pada awalnya, tidak terlalu diperhatikan fungsinya. Selain itu, dia bergerak juga program nelayan membaca, buku-buku dalam rak dalam kapal itulah yang dia dan kawan-kawannya nahkodai selama ini.

Para lelaki Mandar, berbeda sekali dengan para lelaki di kotaku. Tentu saja. Wajah kasar penuh guratan terpaan alam. Kadang aku jadi geli kala mengingat kakak ipar lelakiku yang sibuk bulak-balik ke dokter perawatan kulit hanya untuk menghilangkan satu jerawat di hidungnya.

“Jam berapa kita berangkat besok?” Tanyanya padaku yang sedari tadi hanya diam tak bersuara.

Aku mencoba mengingat dengan mengarahkan bola mataku ke atas, “Sekitar jam satu wita.”

“Sudah coba naik kapal laut?”

Aku menggeleng, “Saya tidak berani sebenarnya.”

Lelaki Mandar itu terbahak, “Ini bulan lima. Apa yang kau risaukan memang?”

“Memangnya apa bedanya dengan bulan-bulan lainnya?”

“Kalau kau naik kapal laut antara bulan sebelas sampai bulan dua, baru kau harus khawatir, gelombang laut sedang tinggi-tingginya.”

Sejujurnya, aku tak pernah mengkhawatirkan alam. Atau mungkin tak terlalu memikirkannya. Nyatanya dari penjelasannya itu, aku menyadari hal lain. Bahwa idealismeku dengannya teramat berbeda, aku yang selalu takut akan ancaman manusia, kriminalisme, dan mungkin kecerobohanku sendiri kehilangan sesuatu dalam tiap perjalanan.

Kapal laut, yang belum pernah sama sekali kucoba, dalam bayanganku terlalu banyak orang yang tidak bisa kupercaya. Penumpangnya bisa saja kelas-kelas menengah ke bawah. Dengan segala kisah-kisah dan bahasa yang tidak sepadan denganku. Makan makanan yang bisa saja tidak higienis tetapi mahal. Belum lagi takkan kudapatkan sinyal ponsel sama sekali.

“Seorang petualang sejati takkan pernah takut kehilangan apapun.” Tiba-tiba Lelaki Mandar itu berkata seolah dia bisa mendengar suara batinku.

“Karena dalam setiap perjalanan, yang kau niatkan adalah mencari.” Tambahnya.

Kami berjalan ke arah Kapal Pinisi, ramai anjungan membuat riuh telingaku. Tak terlalu banyak angin dari arah Selat Makassar. Itu yang membuat kota ini lebih panas rasanya dari Yogyakarta.

“Sepertinya kau bukan orang Jogja?”

Aku mengangguk, “Saya dari Bandung.”

“Sayang sekali, perahu kami tak bisa berlabuh di sana, tak ada laut bukan?” Dia sedikit mengejek.

“Ada kok!” Ujarku.

“Bandung Lautan Api.” Aku lalu terkikik.

“Juga Lautan Asmara. Hahaha.” Tambah Lelaki Mandar itu.

Kami tertawa bersama meriahnya kota ini. Perahu Pustaka itu menyambut kami di anjungan. Sebentar lagi mereka akan kembali membentangkan layar menuju pulang.
“Semoga kita bisa bertemu lagi. Datanglah kembali ke Mandar, kau akan selalu disambut di sana.” Sebuah kalimat perpisahan yang klise.

“Pasti. Tentu kita akan bertemu lagi.” Aku ulurkan tangan kanan, tangan kekar lelaki itu menyambut perpisahan kami.

Selalu ada pertemuan setelah perpisahan. Itu yang selalu kuyakini. Laut bergejolak dan begitupun hatiku. Rasa-rasanya para pelaut itu lebih akan kurindukan di tempatku nanti. Perjuangan yang sengit dengan modernisasi lebih kuat ketimbang gelombang laut yang melawan layar yang membawa setumpuk buku dan harapan atas masyarakat Mandar yang berusaha bertahan di peradaban yang memaksa mereka untuk memilih tetap menjadi bangsa pelaut atau musnah ditelan jaman.

Senja menelan perlahan cahaya. Berganti remang lampu-lampu. Entah kenapa, saat perahu itu pulang, angin tiba-tiba terasa. Aku menyadari, kekasihnya menyambut bentangan layar, merangkulnya dalam kerinduan dan haru. Karena tiada yang mencintainya lebih, selain pelaut yang pantang menurunkan jangkar perahunya.
***
Makassar, 24 Mei 2017

Note: Foto oleh Ashari Sarmedi

Cucum Cantini. Lahir di Bandung, tinggal Yogyakarta. Saat ini aktif sebagai Tim Riset di PKKH UGM (Purna-Budaya) dan bersama salah satu kawannya, membangun gerakan komunitas penulis remaja, Raffesia Writer Community, di Bengkulu. Sebagai kegiatan sampingan, kuliah di Ilmu-ilmu Humaniora UGM. Bisa disapa di akun sos-mednya: cantinisme@facebook.com

COMMENTS

"BELAJAR ITU SEUMUR HIDUP"
Banner99
Nama

--V,2,Ahmad Muthahier,1,Amrul Nasir,1,Andhika Mappasomba,5,Aprinus Salam,1,Azizaturahmi Madil,1,Bahasa,1,Bicara Buku,6,bookstore,1,buku,1,Celoteh,15,Cerpen,9,Citizenship,1,Citra Deviyanti,1,Cucum Cantini,2,Dwi Novita Rahayu,1,Essai,13,Ettanya Ain,12,Faika Burhan,1,Inspiratif,1,Iphy Nerazzurri,1,Irhyl Makkatutu,1,Ismail Fathar Makka,1,Iwan Djibran,1,Kendari,2,La Hingke,1,La Ode Gusman Nasiru,1,Lailatul Qadriani,6,Literasi,1,Muhammad Agung,2,Muhammad Yusuf Abdan,1,Novel,2,Nurul Mutmainnah,1,Pendidikan,2,Penerbitan,2,Puisi,5,Raya Pilbi,2,Reportase,13,Resensi Buku,1,Review,5,Ridwan Demmatadju,1,Salim Kramat Alverenzo,1,sastra,1,Sinopsis,1,SOGI,1,Sosial Budaya,1,sosial politik,2,Terbitan,19,Yusuf IW,1,
ltr
item
Rumah Bunyi : Cerpen : Lelaki Yang Kekasihnya Adalah Laut ( Cucum Cantini )
Cerpen : Lelaki Yang Kekasihnya Adalah Laut ( Cucum Cantini )
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhXlu6nHV3AVLdSNvBNe7OzGhXSKZV-V4DILHqMivo7hv2F950ODgGhw070U8A98QMKsX8jDOfGdWiQWNAdUKfF_wm1ZfcWuWcEtU9ot_o1ClDrwmdcdN1q0R_z-y81FHKmvATKgmUm_2Q/s640/12745878_1039672989429639_1317106966438393791_n.jpg
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhXlu6nHV3AVLdSNvBNe7OzGhXSKZV-V4DILHqMivo7hv2F950ODgGhw070U8A98QMKsX8jDOfGdWiQWNAdUKfF_wm1ZfcWuWcEtU9ot_o1ClDrwmdcdN1q0R_z-y81FHKmvATKgmUm_2Q/s72-c/12745878_1039672989429639_1317106966438393791_n.jpg
Rumah Bunyi
https://www.rumahbunyi.com/2018/03/cerpen-lelaki-yang-kekasihnya-adalah.html
https://www.rumahbunyi.com/
http://www.rumahbunyi.com/
http://www.rumahbunyi.com/2018/03/cerpen-lelaki-yang-kekasihnya-adalah.html
true
2473427367586082924
UTF-8
Lihat Semua Tulisan Halaman Tidak Ditemukan LIHAT SEMUA Selengkapnya Balas Batalkan Hapus Oleh Home HALAMAN ARTIKEL LIHAT SEMUA ARTIKEL LAINNYA LABEL ARSIP PENCARIAN SEMUA TULISAN Tulisan yang Anda cari tidak ditemukan. Kembali Ke Beranda Sunday Monday Tuesday Wednesday Thursday Friday Saturday Sun Mon Tue Wed Thu Fri Sat January February March April May June July August September October November December Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec just now 1 minute ago $$1$$ minutes ago 1 hour ago $$1$$ hours ago Yesterday $$1$$ days ago $$1$$ weeks ago more than 5 weeks ago Followers Follow THIS CONTENT IS PREMIUM Please share to unlock Copy Semua Code Pilih Semua Code Semua Code Telah Ter-copy Code/Teks Tidak Dapat Ter-copy, Silahkan Tekan [CTRL]+[C] (Atau CMD+C di Mac) Untuk Copy