Diskusi Malam Senin (Part 1)
Apreasiasi Karya Sastra dan Peta Perbukuan Kota Kendari
Ini bukan rangkuman terlebih lagi sebuah kesimpulan. Ini adalah penggambaran tentang sebuah kondisi dan hal hal yang dibicarakan dalam diskusi. Ini adalah reportase.
Saya akan memulai tulisan reportase, dokumentasi diskusi (buku, sastra, bahasa, literasi dan budaya) ini dengan menyebutkan nama dari orang orang yang hadir pada malam itu, dari berbagai disiplin ilmu dan profesi.
Ada Patta Nasrah, Putut Tedjo Saksono, Ilham Q Muhiddin, Achmad Zain, Al Galih, Ahid Hidayat, Masjidi, Arsyad Salam, Frans Patadungan, Kahar Mappasomba dan beberapa nama lain yang datang lalu kemudian pulang lebih awal, Astika Elfakhri serta 2 orang lagi yang saya lupa catat namanya.
Diskusi di malam itu, berawal dari inisiatif Achmad Zain agar kita bisa menggeliatkan lagi tradisi berdiskusi di kota Kendari. Dan dalam hal berdiskusi selalu ada yang menjadi hasil, tidak mengambang ke langit tapi bermanfaat bagi kota dan Masyarakat.
Dipilihlah untuk membawa buku yang ditulis oleh Arsyad Salam yang berjudul Lintasan Menikung ke dalam ruang diskusi dengan Ahid Hidayat dan Ilham Q Muhiddin sebagai pemantik diskusi lalu berkembang dengan menghadirkan Patta Nasrah sebagai pemantik tambahan.
Belakangan, diskusi ini Tidak sekedar membicarakan novel lintasan menikung tersebut, merambah ke peta perbukuan Sultra, kritik dan apresiasi sastra, perkembangan bahasa, polarisasi dalam berkesenian dan berkebudayaan, dan banyak hal lainnya.
***
Ahid Hidayat memulai diskusi sebagai pembicara pertama dengan menanyakan tentang hal yang menarik untuk didiskusikan. Dan ini menjadi pemantik berjalannya diskusi menjadi alot.
Sebagai pengantar, bahwa ada pengalaman dan pernah dilakukan diskusi buku sebelumnya yang ditulis oleh penulis muda Kendari, tapi diskusi itu berubah menjadi kritik dan menghantam proses kreatif yang dilakukan. Diskusi berubah menjadi penghakiman baik atau buruknya sebuah karya. Ini yang kemudian harus dihindari agar semangat kepenulisan tidak kemudian pudar dan jatuh karena sebuah kritik, penghakiman dan Subjektifitas.
Ada pemahaman yang berkembang dan dipahami oleh banyak orang, bahwa ketika kita mengkritik penulis karena gagasan, bentuk kepenulisan, proses mengangkat gejala sosial sekitarnya kedalam tulisan berupa intrinsik atau ekstrinsik, Seolah olah kita beranggapan bahwa subjek akan mereduksi Setiap persoalan itu padahal belum tentu demikian.
Yang kedua adalah kritikus atau si penghantam belum tentu juga adalah hal yang benar, sebab bisa dilihat juga dari basic keilmuannya tidak jelas. Dalam hal kritik sastra, tentu juga harus dilihat apakah pengkritik itu paham soal Sastra atau tidak, menulis atau tidak?. Sebab kritikus harus dibarengi dengan kemampuan menulis.
Mulai malam ini dan untuk ke depannya lagi, dalam hal berdiskusi soal buku seperti ini kita seharusnya tidak fokus dalam hal membahas kelemahan buku, bukan kelemahan penulis. Tapi harusnya lebih menekankan pada apa yang dituliskan, data dan fakta yang disajikan serta what behind dari karya berupa buku ini. Dan jika ingin mengkritik tulisan baik itu novel, cerpen atau puisi, alangkah baiknya jika kritik itu dilakukan dan disalurkan melalui media dalam bentuk tulisan.
Hal lain adalah sebagai seorang yang menggeluti bidang Penerbitan, Ilham Q Muhiddin menggambarkan tentang peta perbukuan di kota Kendari atau Sultra pada umumnya.
Kebanyakan penulis memiliki semangat untuk membukukan karyanya sangat besar sekali namun hal demikian tidak dibarengi dengan cara, padahal di tempat lain, para penulis mencari sponsor, kerjasama. Dan sporsor inilah yang biasanya memberikan dukungan finansial proses penerbitan sebuah buku, dengan kesepakatan tertentu antara Penulis dan sponsornya. Biasanya ini tidak dibarengi dengan upaya marketing dan distribusi yang tidak memadai.
Persoalan lain adalah, Setiap penerbit memiliki standar tentang karya dan kepenulisan yang akan diterbitkan. Ada banyak pendekatan untuk kemudian menjadi pertimbangan apakah buku tersebut layak atau tidak.
Persoalan ini kemudian menjadi tantangan bagi para penerbit, apakah akan menjaga kualitas ataukah sekedar menerbitkan buku begitu saja, lalu membiarkan pembaca yang menjadi hakim atas sebuah karya itu. Inilah salah satu tantangan bagi penerbit dalam menghadapi penulis.
Lalu setelah produksi, karena biasanya Penerbit tidak memiliki andil untuk melakukan proses distribusi atau marketing sebuah buku. Sehingga para penulis melakukan proses marketing sendiri. Modal sosial menjadi penting, bagaimana interaksi penulis dengan sosialitasnya. Apakah penulis itu kemudian mampu meyakinkan calon pembaca untuk memiliki keinginan atas buku tersebut. Belum lagi soal jumlah buku yang dicetak tidak berbanding lurus dengan kebutuhan membaca sebuah masyarakat.
Distribusi buku penulis Kendari, baik buku sastra maupun buku buku teks atau wacana, belum maksimal ketika berada di luar konteks kampus maupun secara umum. Bahkan kampus, untuk buku buku sastra tidak mendapatkan tempat dan apresiasi yang mumpuni. Dan ini adalah sebuah kejanggalan yang luar biasa.
Yang memiliki daya tekan hanyalah buku buku teks/keperluan mata kuliah yang ditulis oleh para akademisi atau yang bergelut di dunia kampus. Sastra tidak mendapatkan tempat. Ini adalah tantangan bagi para penulis Sastra.
Hal lain adalah, di luar konteks distribusi dan kualitas sebuah karya sastra soal segmen pembaca adalah hal yang patut diperhatikan. Untuk siapa dan apa yang menjadi misi sebuah karya berupa buku juga menjadi pertimbangan.
Masalah Penerbitan dan percetakan adalah tantangan lain yang menjadi persoalan, karena untuk para penerbit mayor (papan atas) kebanyakan tidak humanis dan tidak menghidupkan penulis secara finansial. Penerbit demikian hanya mengsejahterahkan perusahaannya. Rendahnya royalti dan pembagian keuntungan kepada penulis menjadikan penulis harus berani untuk tampil bersama Penerbit indie dan memperjuangkan sendiri nasib dan karyanya.
Saatnya penulis harus memutar sudut pandang tentang Penerbitan, distribusi serta marketing karya karyanya. Meski menulis tidak sekedar mengejar materi semata, menulis adalah mengabadikan kisah, menciptakan sejarah dan karya penulis penulis harus berdampak pada sosialitas.
Bersambung...
Apreasiasi Karya Sastra dan Peta Perbukuan Kota Kendari
Ini bukan rangkuman terlebih lagi sebuah kesimpulan. Ini adalah penggambaran tentang sebuah kondisi dan hal hal yang dibicarakan dalam diskusi. Ini adalah reportase.
Saya akan memulai tulisan reportase, dokumentasi diskusi (buku, sastra, bahasa, literasi dan budaya) ini dengan menyebutkan nama dari orang orang yang hadir pada malam itu, dari berbagai disiplin ilmu dan profesi.
Ada Patta Nasrah, Putut Tedjo Saksono, Ilham Q Muhiddin, Achmad Zain, Al Galih, Ahid Hidayat, Masjidi, Arsyad Salam, Frans Patadungan, Kahar Mappasomba dan beberapa nama lain yang datang lalu kemudian pulang lebih awal, Astika Elfakhri serta 2 orang lagi yang saya lupa catat namanya.
Diskusi di malam itu, berawal dari inisiatif Achmad Zain agar kita bisa menggeliatkan lagi tradisi berdiskusi di kota Kendari. Dan dalam hal berdiskusi selalu ada yang menjadi hasil, tidak mengambang ke langit tapi bermanfaat bagi kota dan Masyarakat.
Dipilihlah untuk membawa buku yang ditulis oleh Arsyad Salam yang berjudul Lintasan Menikung ke dalam ruang diskusi dengan Ahid Hidayat dan Ilham Q Muhiddin sebagai pemantik diskusi lalu berkembang dengan menghadirkan Patta Nasrah sebagai pemantik tambahan.
Belakangan, diskusi ini Tidak sekedar membicarakan novel lintasan menikung tersebut, merambah ke peta perbukuan Sultra, kritik dan apresiasi sastra, perkembangan bahasa, polarisasi dalam berkesenian dan berkebudayaan, dan banyak hal lainnya.
***
Ahid Hidayat memulai diskusi sebagai pembicara pertama dengan menanyakan tentang hal yang menarik untuk didiskusikan. Dan ini menjadi pemantik berjalannya diskusi menjadi alot.
Sebagai pengantar, bahwa ada pengalaman dan pernah dilakukan diskusi buku sebelumnya yang ditulis oleh penulis muda Kendari, tapi diskusi itu berubah menjadi kritik dan menghantam proses kreatif yang dilakukan. Diskusi berubah menjadi penghakiman baik atau buruknya sebuah karya. Ini yang kemudian harus dihindari agar semangat kepenulisan tidak kemudian pudar dan jatuh karena sebuah kritik, penghakiman dan Subjektifitas.
Ada pemahaman yang berkembang dan dipahami oleh banyak orang, bahwa ketika kita mengkritik penulis karena gagasan, bentuk kepenulisan, proses mengangkat gejala sosial sekitarnya kedalam tulisan berupa intrinsik atau ekstrinsik, Seolah olah kita beranggapan bahwa subjek akan mereduksi Setiap persoalan itu padahal belum tentu demikian.
Yang kedua adalah kritikus atau si penghantam belum tentu juga adalah hal yang benar, sebab bisa dilihat juga dari basic keilmuannya tidak jelas. Dalam hal kritik sastra, tentu juga harus dilihat apakah pengkritik itu paham soal Sastra atau tidak, menulis atau tidak?. Sebab kritikus harus dibarengi dengan kemampuan menulis.
Mulai malam ini dan untuk ke depannya lagi, dalam hal berdiskusi soal buku seperti ini kita seharusnya tidak fokus dalam hal membahas kelemahan buku, bukan kelemahan penulis. Tapi harusnya lebih menekankan pada apa yang dituliskan, data dan fakta yang disajikan serta what behind dari karya berupa buku ini. Dan jika ingin mengkritik tulisan baik itu novel, cerpen atau puisi, alangkah baiknya jika kritik itu dilakukan dan disalurkan melalui media dalam bentuk tulisan.
Hal lain adalah sebagai seorang yang menggeluti bidang Penerbitan, Ilham Q Muhiddin menggambarkan tentang peta perbukuan di kota Kendari atau Sultra pada umumnya.
Kebanyakan penulis memiliki semangat untuk membukukan karyanya sangat besar sekali namun hal demikian tidak dibarengi dengan cara, padahal di tempat lain, para penulis mencari sponsor, kerjasama. Dan sporsor inilah yang biasanya memberikan dukungan finansial proses penerbitan sebuah buku, dengan kesepakatan tertentu antara Penulis dan sponsornya. Biasanya ini tidak dibarengi dengan upaya marketing dan distribusi yang tidak memadai.
Persoalan lain adalah, Setiap penerbit memiliki standar tentang karya dan kepenulisan yang akan diterbitkan. Ada banyak pendekatan untuk kemudian menjadi pertimbangan apakah buku tersebut layak atau tidak.
Persoalan ini kemudian menjadi tantangan bagi para penerbit, apakah akan menjaga kualitas ataukah sekedar menerbitkan buku begitu saja, lalu membiarkan pembaca yang menjadi hakim atas sebuah karya itu. Inilah salah satu tantangan bagi penerbit dalam menghadapi penulis.
Lalu setelah produksi, karena biasanya Penerbit tidak memiliki andil untuk melakukan proses distribusi atau marketing sebuah buku. Sehingga para penulis melakukan proses marketing sendiri. Modal sosial menjadi penting, bagaimana interaksi penulis dengan sosialitasnya. Apakah penulis itu kemudian mampu meyakinkan calon pembaca untuk memiliki keinginan atas buku tersebut. Belum lagi soal jumlah buku yang dicetak tidak berbanding lurus dengan kebutuhan membaca sebuah masyarakat.
Distribusi buku penulis Kendari, baik buku sastra maupun buku buku teks atau wacana, belum maksimal ketika berada di luar konteks kampus maupun secara umum. Bahkan kampus, untuk buku buku sastra tidak mendapatkan tempat dan apresiasi yang mumpuni. Dan ini adalah sebuah kejanggalan yang luar biasa.
Yang memiliki daya tekan hanyalah buku buku teks/keperluan mata kuliah yang ditulis oleh para akademisi atau yang bergelut di dunia kampus. Sastra tidak mendapatkan tempat. Ini adalah tantangan bagi para penulis Sastra.
Hal lain adalah, di luar konteks distribusi dan kualitas sebuah karya sastra soal segmen pembaca adalah hal yang patut diperhatikan. Untuk siapa dan apa yang menjadi misi sebuah karya berupa buku juga menjadi pertimbangan.
Masalah Penerbitan dan percetakan adalah tantangan lain yang menjadi persoalan, karena untuk para penerbit mayor (papan atas) kebanyakan tidak humanis dan tidak menghidupkan penulis secara finansial. Penerbit demikian hanya mengsejahterahkan perusahaannya. Rendahnya royalti dan pembagian keuntungan kepada penulis menjadikan penulis harus berani untuk tampil bersama Penerbit indie dan memperjuangkan sendiri nasib dan karyanya.
Saatnya penulis harus memutar sudut pandang tentang Penerbitan, distribusi serta marketing karya karyanya. Meski menulis tidak sekedar mengejar materi semata, menulis adalah mengabadikan kisah, menciptakan sejarah dan karya penulis penulis harus berdampak pada sosialitas.
Bersambung...
COMMENTS