Review:
Saya merasa bertanggung jawab untuk menuliskan tanggapan terhadap sebuah karya, untuk setiap buku yang pernah saya baca. Sangat mungkin, tulisan yang saya maksudkan sebagai resepsi itu akan berujung pada endorsment atau testimonial, tapi bagi saya itu bukan masalah, saya bukan tipikal pembaca atau orang yang suka cari masalah.
Tapi kalau ada yang menganggapnya kritik, itu juga tidak jadi soal buat saya, semuanya terserah pada pembaca, siapa tahu memang ada istilah resepsi atas resepsi dalam ranah akademik. Intinya, saya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan apresiasi. Jadi, penegasannya, yang saya lakukan dan akan saya lakukan lagi bukanlah sebuah kritik.
Sebenarnya, bukan hanya soal buku saja. Saya juga ingin membicarakan film. Termasuk catatan atau review dari orang orang yang menuliskan pengalamannya, interpretasinya, baik berupa kritik ataupun apresiasi, atas sebuah karya seni atau karya kreatif yang berkaitan dengan film. Bagian kritiknya, akan coba saya abaikan.
Saya akan memulainya dengan melakukan Review atas 2 catatan yang berkaitan dengan film bumi manusia, serta hasil diskusi dari orang yang sudah menonton film BM (bumi manusia).
2 CATATAN
Catatan pertama yang saya benar-benar baca yang berkaitan dengan film Bumi Manusia adalah karya Andang Parsan (bisa dibaca di url ini https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=2536507979705488&id=395268320496142). Kalimat pembuka sebagai pengantar catatan itu, adalah rasa syukurnya karena belum pernah membaca Novel BM, sehingga merasa menjadi botol kosong saat menonton film BM. Untuk membacanya pun, saya harus mengabaikan ingatan dan pengalaman saya sebagai orang yang pernah membaca novel BM.
Saya membaca dengan khidmat dan menemukan posisi objektif Andang Parsan dalam menuliskan review dan tanggapannya. Ada 5 poin yang menjadi ulasannya. Saya menganggap Ia cukup bersih dan jernih menjelaskan argumentasinya. Justru yang tidak menarik menurut saya adalah komentar komentar yang ada pada postingan yang saya bagikan. Komentar tersebut mengeluarkan dirinya dari konteks apa yang sedang dijelaskan oleh Andang Parsan. Melihat kejernihan dan posisi objektifnya membuat saya turut membagikan postingan tersebut dengan penekanan 5 poin yang kuat.
Catatan kedua adalah penjelasan Hanung Bramantyo sebagai pembaca karya Pram dan kronologis penyutradaraan dan alih wahana BM dari Novel Ke Film. Saya seperti sedang bersorak girang kegirangan saat menemukan tulisan itu langsung dari beranda facebook Hanung Bramantyo. Catatan itu berjudul KENAPA FILM BUMI MANUSIA HARUS SAYA? (https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10211179732848002&id=1798264315).
Meskipun catatan itu terkesan sebagai pembelaan secara historis, menurut saya catatan itu adalah bagian dari cara Hanung melakukan promosi film BM. Jauh-jauh hari sebelum pemutaran bahkan proses shooting film BM, kontroversi dan penolakan difilmkannya Novel BM ramai di media sosial. Salah satu yang paling nyinyir menyuarakannya adalah Saut Situmorang bersama orang orang yang sepemahaman dengannya. Saut Situmorang adalah seorang Sastrawan dan Juga Kritikus sastra. Hingga saat ini, saya belum menemukan kritik saut terhadap film BM, kritik setelah menonton film BM.
Saya ikut membagikan catatan yang dituliskan oleh Hanung tersebut.
Pada catatan yang saya bagikan, saya menuliskan caption seperti ini
"Akhirnya, saya bisa membaca langsung seperti apa Bumi Manusia dalam Versi dan pikiran Hanung Bramantyo. Seperti kata Jean Marais, tokoh dalam buku Bumi Manusia, Seorang Terpelajar harus adil, adil sejak dalam pikiran. Film adalah Film. Buku adalah Buku. Meski keduanya bisa "saling terkait" melalui proses alih wahana, bahkan secara berkebalikan. Saya bagikan tulisan ini kepada mereka yang hanya membaca bukunya, yang hanya menonton filmnya, dan spesial kepada yang pernah membaca lalu menonton filmnya. Saya tidak merekomendasikan ini kepada mereka yang merasa tahu semuanya. Tanpa memiliki kedua-duanya tapi membicarakan dan seolah-olah memiliki keduanya, di memorinya".
Tulisan tersebut sangat panjang, detail. Pengalaman dan perjumpaan Hanung dengan Perburuan, mengantarkan dirinya pada perburuan karya Pram lainnya. Bagian yang tak kalah heroik adalah kisah penolakan yang diterimanya dari Pram dengan alasan finansial, pada catatan ini juga kita bisa menemukan pandangan Pram terhadap karya yang harusnya menghidupinya secara ekonomi, ia menganggap karya-karyanya adalah anaknya yang menafkahinya. Empati pada Hanung dan empati pada Pram. Membaca catatannya membuat saya ingin segera menikmati filmnya.
PROSES BERDISKUSI
Beberapa hari yang lalu, Irianto Ibrahim menelpon (mungkin setelah membaca pesan singkat yang saya kirim beberapa jam sebelumnya) dan bertanya "Sudah nonton Film BM? Saya sedang di perjalanan pulang, habis menonton film BM di Plaza". Saya menjawab belum, dan tidak berminat menontonnya di saat-saat film itu sedang booming dibicarakan. Percakapan melalui telpon selesai.
Karena penasaran dengan pengalamannya menonton film BM, saat malam, saya mendatanginya ke rumah. Di rumahnya, saya menemukannya sedang bersantai di halaman belakang, sedang menyirami tanaman bunga peliharaan kesayangannya.
Saya datang dengan pertanyaan, Apa kedahsyatan yang ditawarkan BM versi Hanung? Dari testimonial yang disampaikannya, seperti ini yang bisa saya ingat.
Penjelasannya menekankan pada pentingnya membedakan BM sebaga Film dan BM sebagai Novel. " Sebagai sebuah film,
Pertama, BM sukses menggambarkan situasi pada tahun tahun kolonialisme Belanda menguasai Nusantara, setidak-tidaknya konteks Surabaya di masa silam. Tahun ketika Indonesia belum ditemukan dalam bentuk teks atau tulisan.
Kedua, BM adalah kisah cinta seorang indo dan pribumi, dan kisah percintaan ini merupakan kekuatan yang dibangun oleh Hanung untuk menggalang minat generasi millenial. Situasi ini pula digunakan oleh Hanum untuk mengenalkan sejarah parsial yang diceritakan oleh BM. Pilihan untuk memakai Iqbal untuk memerankan Tokoh Minke adalah hal yang berkaitan dengan industri, ada pasar yang diwakili oleh sosok Iqbal setelah sukses dengan film sebelumnya (Dilan).
Ketiga, Ia menyoroti orang orang yang menghujat dan membicarakan BM sebagai film dan sekaligus sebagai novel. Hampir tak ada kebijaksanaan yang dimiliki oleh orang orang yang bertindak demikian, apalagi tulisan tulisan yang tidak memisahkan karya sastra dan pribadi penulisnya. Bukankah kita harusnya bijak sejak dalam pikiran? Mengutip percakapan dalam BM.
Keempat, sebagai sebuah karya yang lahir dari proses alih wahana, tentu hasil tersebut merupakan interpretasi, ia menjadi dan menawarkan makna yang baru. Novel-Script-Sutradara melewati proses yang tentu saja melakukan rekonstruksi ataupun dekonstruksi. Ia sempat menjelaskan Teori Dekonstruksi Derrida.
Kelima, Film sebagaimana seni lainnya (ia menyebut sastra dan teater), harus diapresiasi. Ia berjanji akan menuliskan pembacaan dan pengalaman dengan Film BM beberapa hari kemudian.
_++++_
Kemarin malam, kepada istri saya, saya melakukan sebuah pengakuan. Saya mengakui sebuah kekuatan dahsyat yang ditimbulkan dan dibawa serta oleh endorsment atau testimonial, hal inilah yang ingin saya sampaikan melalui tulisan ini.
Membaca catatan dari 2 versi atau sudut pandang tersebut, mendapatkan informasi dari hasil diskusi, memantapkan diri saya untuk merubah sedikit cara memposiskan idealisme. Ternyata, ada ego yang berselimut dalam dekapan idealisme atas nama ideologi.
COMMENTS