Oleh : Salim kramat alverenzo
( Seniman/Pemerhati Sastra )
Telah terbit kepandaian yang benar-benar terjadi, mereka hidup menjadi bayang-bayang ketakutan yang menerkam jiwa serakah. Tersentulah kehidupan oleh karena pikiran-pikiran yang berlebihan lihai mencari wangi surga dengan hidung yang bernanah. Mereka rajin menulis kebaikan di atas permukaan wajahnya. Sesuka hati memilih warna yang sesuai dengan kebutuhan zaman dan hidupnya mulai ketagihan mimpi. Kebaikan telah meracuni gerakannya untuk menyapa siapa saja yang dipandang muak dalam hidup.
Dia terus bergerak dengan semangat menggebu-gebu hingga pandangannya menjadi gelap lalu dunia bertukar nyawa. Di saat itu Badai berhenti dan dia membuka mata.
“Dasar kucing bodoh! kalau tidur jangan di jalan!” Bentak anjing yang sibuk merapikan kumisnya. Kaget, sikucing bangun seketika. “siapa yang bilang kucing?, apa kau tidak lihat, wajahku masih manusia, dasar anjing?”
kini kumis anjing mulai merinding, dan kulit hitam hidungya pucat seketika.
“astaga? Hei kucing pesek, lain kali kalau tidur jangan di badan jalan nanti dilangkahi setan?”,
Masih dalam keadaan setengah sadar si kucing menyahut ganas,
“hey anjing, mulutmu busuk, jangan keterlaluan bijak macam anjing tua di rumah?”. Sambil menggaruk dagunya, anjing berbulu coklat menatap tajam, “kucing yang manis? makin tidak nyambung jawabanmu, sebenarnya mimpimu sehoror apa, sampai-sampai jalan raya kau anggap ranjang pengantin?”.
Sambil melihat di sekelilingnya, sekumpulan binatang menyaksikan tingkahnya, si kucing tersadar bahwa dia tertidur di tengah jalan. Dia pun tersipu malu,
“maaf, barusan aku bermimpi, hidup bukan di dunia binatang tapi aku menjadi manusia!”.
Kini anjing, babi, tikus, monyet, biawak, dan ayam yang bercelana puntung, serentak mulutnya menganga seolah waktu berputar lambat dan seketika tertawa terbahak-bahak sambil memegang perut masing-masing. Semua dalam kondisi perasaan lucu yang tidak terkendali, ada anjing yang membanting hidungnya ke aspal, ayam menurunkan celananya, tikus menarik ekor kucing, monyet mencabut kumis anjing, biawak baring di paha ayam, dan babi mengigit ekor anjing.
Tidak ingin tengelam dalam situasi yang memalukan, kucing pun pergi meninggalkan komplotan aneh itu. Dalam beberapa puluh langkah jalan pulang, si kucing menoleh ke belakang dan melihat anjing yang masih berdiskusi perihal mimpi yang mustahil hadir dalam fantasi binatang. Kucing terus berjalan sambil bertanya-tanya dalam hati, “kenapa mimpi seburuk itu, Sungguh manusia adalah hantu dalam dunia binatang, Kehendak bebas mereka adalah fenomena yang harus diterima oleh mahluk yang tidak mulia di mata manusia”.
Masih dalam perasaan aneh, di perjalanan pulang, tidak sengaja kucing melihat sapi duduk tenang menikmati rumput-rumput basah yang telah di racuni manusia-manusia liar.
“Permisi tuan sapi, bolehkah aku bertanya tentang makna?”. Dengan senyum unik, sapi memamerkan gigi-gigi pahatnya yang kemilau.
“hmm, Pertanyaanmu sangat filosofis, dan menjawabnya butuh tenaga yang memakan rumput liar di lahan subur, tapi baiklah, jadi apa masalahmu?”.
Kini pada kejernihan mata sikucing terpancar ekpresi bahagia, berharap misteri mimpinya dapat terjawab.
“Tuan sapi, siang tadi aku tidak sengaja duduk menunggu tikus di tengah jalan sampai tertidur dalam penantian, dan anehnya aku bermimpi hidup sebagai manusia yang berbahasa santun, pikiranku tidak mudah curiga dan selalu netral dalam memahami segala persoalan alam kehidupan manusia, itulah mimpiku, kira-kira apa maknanya tuan sapi?”.
Bergerak perlahan, Tuan sapi mulai duduk dan sesekali menutup mata sambil menghembuskan napasnya seolah mengerti bahwa pertanyaan kucing benar-benar menyengat nasib hidup seisi dunia binatang.
“kucing yang manis, menjawab pertanyaanmu dengan terpaksa aku harus meminjam istilah manusia sebab budaya menafsirkan mimpi bukanlah kewajiban kelas hidup kita. Dalam keterbatasan, aku mencoba menjelaskan dengan melihat tiga tanda watak yang kau alami.
Pertama adalah bahasa santun, hal ini merupakan kelebihan hidup binatang yang tidak pernah dipahami oleh manusia bahkan dengan keliru mereka menyimpulkan bahwa bahasa kita hanya sekedar bunyi isyarat, sementara mereka belum pernah hidup di alam kita sebagai binatang. apakah engkau sadari bahwa bahasa binatang itu santun bahkan memberi warna hidup mereka di siang dan malam-malamnya.
Watakmu yang kedua adalah tidak curiga, inilah yang menjadi kelemahan hidup binatang di alam manusia, sebab kita sebagai binatang tidak selalu mencurigai manusia akan berbuat jahat kepada kita, meski banyak di antara binatang yang mereka pelihara dan dijadikan siksaan pelampias rasa kekesalannya. Padahal, jika kita berpikir sehat, seharusnya jangan membuang kesal kepada binatang apabila amarah itu mereka dapatkan dari kehidupan manusia. Tidak bisa dibayangkan, sebenarnya siapa yang berpikir sehat di dua alam ini.
Watakmu yang ketiga adalah bersikap netral, hal ini sangatlah sulit dimaknai, persoalannya adalah masih adakah sikap netral murni tanpa kepentingan yang tersembunyi pada kedalaman hati binatang maupun manusia. Kadangkala sikap netral lahir secara tiba-tiba tanpa terencana. Pada keadaan sejatinya, kehadiran sikap netral adalah benar-benar tulus tapi lama kelamaan ikut serta harapan-harapan baru yang tak terencana, untuk sementara, itu saja jawaban yang kusanggupi untukmu kucing”.
Seperti tidak sadarkan diri, Kucing terus memandang Tuan Sapi yang telah usai menjelaskan arti mimpinya. Sungguh di luar dugaan, dalam otak binatang ada sebagian pemahaman manusia. Si kucing semakin terkagum-kagum pada penjelasan Tuan sapi yang berkostum serba ketat itu. Sementara Tuan sapi bingung sendiri melihat ekspresi kucing seperti kerasukan roh halus diam tanpa sekata apapun.
“hey kucing, sadarlah ! aku sudah selesai menjelaskan?”, dengan terpaksa Tuan sapi menggelitik ketiak Kucing, akhirnya Kucing menghentikan renungan rasa kagumnya pada jawaban Tuan sapi, Kucing pun angkat bicara
“tidak salah lagi, ternyata di hadapanku ada sosok manusia postif dalam otak binatang, tidak salah lagi jika di dunia manusia, Tuan sapi layak menjadi tenaga pengajar di perguruan tinggi?”.
Sungguh kaget bukan main, kini bibir Tuan Sapi pucat sambil menoleh kiri kanan penuh rasa takut mendengar sanjungan Kucing.
“sssst, hey Kucing? tolong jangan menyanjung berlebihan semacam itu, membandingkan jiwa kita dengan manusia seperti jarak inti bumi dan langit?, jangan samakan binatang dengan manusia meski sifat kebinatangan terkadang hadir dalam pribadi manusia?”.
Seakan kucing tersinggung mendengar tolakan sanjungannya pada Tuan sapi, dia merasa bahwa luapan rasa kagumnya dianggap hama olehnya, kucing pun bertanya kembali.
“Tuan sapi yang terhormat, apa ada yang salah dengan sanjunganku, bukankah aku menyanjungmu sesuai kenyataan yang kau pahami, sekarang tolong jelaskan! Sanjungan seperti apa yang kau anggap berlebihan?”
Untuk mengobati rasa kagetnya, Tuan sapi meneguk air dan menghela napas dalam-dalam. Ia membuang pandangan pada rumah tuannya lalu menoleh pada kucing untuk melanjutkan jawabannya
“asal kamu tau, sanjungan itu seperti tumor ganas, sebab dia hidup dan tumbuh perlahan-lahan dalam tubuh mahluk hidup, pada waktu yang lama dia membesar dan membunuh siapa saja, tapi ini tidak terjadi dalam sifat binatang namun hidup dalam sifat manusia. Menyanjung itu tidak mengapa jika itu adalah sebatas pengakuan yang sewajarnya atas budi kebaikan, akan tetapi ada pula sanjungan berlebihan yang bisa meracuni telinga dan memperdaya jiwa pendengarnya.
Pada akhirnya sanjungan merasuki ketulusan manusia, awalnya dia tidak haus pujian lama-kelamaan mereka akan mengemis pujian dibalik kebaikannya. Ingatlah kucing? Menyanjung itu adalah budaya yang tidak perlu dibesar-besarkan, lihatlah hidup manusia, mereka saling menyanjung dan bahkan tidak sedikit menyanjung dirinya sendiri. Sekali lagi, sanjungan itu hanya untuk mereka yang tidak haus sanjungan, sehingga manusia yang peka dapat mengetahui bau busuk sanjungan yang berlebihan dan mengantarnya sampai menjadi panutan yang layak di ikuti?”.
Untuk keskian kalinya Tuan sapi menghentikan penjelasannya sambil meneguk air keemasan, dan melanjutkan kalimatnya dengan berapi api “kucingku yang manis, sehebat papun pemikiran binatang tidak akan pernah melampaui kehebatan pikiran manusia, apalagi engkau menyanjungku sebagai pemikir yang layak menjadi manusia dan masuk perguruan tinggi, bagiku tidak ada yang menakutkan selain kecerdasan manusia di perguruan tinggi.
Di sana banyak berkumpul manusia-manusia terhebat dalam dunia pengetahuan, bahkan konon kabarnya puncak keilmuan mereka dihormati dengan gelar tertinggi sehingga kata-katanya adalah sumber rujukan yang paling sakral dan layak untuk ditulis oleh penggila ilmu pengetahuan. Itulah sebabnya aku membenci sanjungan yang meletakkan persamaan manusia dan binatang dari segi pengetahuan. Jangan sampai otak kebinatangan kita akan mencemari otak kemanusiaan mereka. kekhawatiranku saat ini sudah mulai terjadi dalam hidup manusia.
Lihatlah sebagian para ahli pengetahuan itu, akibat kepandaian yang mereka miliki, tidak ada saling menghargai karena dalam dirinya terlampau merasa hebat dan cerdas. Jika kebinatangan kita meniru kecerdasan manusia, yakin dan percaya manusia akan berguru kepada binatang, entah ilmu kebinatangan maupun kemanusiaan”.
Mendengar ulasan Tuan sapi, sang Kucing mengankat dagunya seolah dia memamahami kefatalan dalam menyanjung, dan kaki kanannya menggaruk leher yang gatal sambil menyimpulkan pertanyaan baru
“jadi apa sebenarnya maksud penjelasan Tuan sapi, Jika kebinatangan kita meniru kecerdasan manusia maka mereka akan berguru kepada binatang, entah ilmu kebinatangan maupun kemanusiaan?” .
Rupanya penjelasan itu memikat Kucing untuk bersandar di pangkuan Tuan sapi. Sambil menjilat tangan kanannya, si kucing membasuh wajahnya yang mulai mengantuk. Dia tidak lagi memperpanjang masalah dengan pertanyaan-pertanyaaan baru, karena dia tau bahwa Tuan sapi selalu merendah diri untuk menjawab tanpa mengutuk kehidupan dua alam. Sekarang kucing mulai memahami bahwa mimpinya adalah gejala kepanikan moral manusia yang perlahan hilang, ilmu pengetahuan binatang telah mampu diperankan oleh manusia akibat kepandaian yang berlebihan angkuh.
Tidak lama kemudian, sapi bangkit dari istrahatnya karena melihat Tuannya datang dengan langkah setengah berlari. Tuan sapi telah mendapat firasat, dia pun membisik si kucing, “pergilah, hari ini sengaja aku sampaikan pemahaman sederhana yang mungkin bermanfaat untukmu, hari ini pula akan menjadi kenangan kita, karena nyawaku akan hilang ditangan Tuanku sendiri, hey Kucing manis, pulanglah ke rumahmu?”.
Dengan berat hati, kucing pergi dan meninggalkan kawan bijaknya. Tanpa menengok kebelakang dia berjalan lurus menatap ke depan, Kucing tidak ingin melihat sang guru jalanan yang diseret Tuannya, meski telinganya terus bergerak mendengarkan dering kalung Tuan sapi yang dibawa paksa oleh tuannya sendiri. Teruslah Kucing berjalan menuju rumahnya, di sana ada tuannya menyambut ramah dengan penuh kecemasan.
###
Dia sangat beruntung, dirawat dengan cinta tanpa imbalan nyawa, bahkan diperlakukan layaknya manusia. Saat waktu makan tiba, Tuannya berbaik hati memberikan sepotong daging segar yang masih berlumur darah. Hati kucing semakin sedih, dalam keterpaksaan harus menghargai layanan tuannya yang sulit ditolak. Akirnya dia memakan juga darah daging gurunya sendiri.
Kucing yang malang, tak ubahnya binatang gila, mengutuk diri sendiri yang telah sengaja memakan guru sejatinya, Dalam pangkuan rindu, kucing manis mengenang gurunya yang telah tiada. Gurunya telah pergi, akan tetapi bayang-bayang pemahamannya menjadi pengantar mimpi dan hidupnya. Guru senantiasa hadir dalam kekalutan murid yang setia. meski tinggal nama yang masih dikenang.
***
COMMENTS