Cerpen : Annemie Abinaya (Dwi Novita Rahayu)


Annemie Abinaya
Oleh : Dwi Novita Rahayu


Hingar bingar perkotaan. Kemacetan, terik panas dan polusi menjadi pemandangan biasa. Sesekali klaskon mobil berbunyi agar jejeran kendaraan bergerak. Percuma saja terjebak macet berpuluh kilometer. Beruntung di dalam mobil terasa sejuk pendingin AC. Sejam berlalu kemacetan kabarnya disebabkan truk pawai kemerdekaan sehingga jalan dialih menjadi satu jalur. Duduk dalam mobil tentu membuat gelisah, pinggang mulai terasa nyeri. Jenuh tentu menghampiri. Sorang pria menyalakan radio.
Sapu tangan yang harum baunya, menawan hatiku, basah air mataku karena datangnya hari sunyi.  Sapu tangan yang dulu ku terima dari kekasihku, pada masa dahulu berdua bertemu...    (Lirik lagu sapu tangan)                                 
Gadis berusia 14 tahun, masih memakai seragam SMP. Duduk di sebelah pria yang merupakan ayahnya. Jari telunjuknya ia arahkan ke depan lantas menghentikan siaran radio di hadapannya. Lalu memutar lagu kesukaannya dari benda digital persegi panjang.                 
“Nayla, kamu gak boleh putar musik keras-keras dari ponsel kamu! ” Ketus ayahnya, geram melihat anaknya.
“Bosan pah. Masa radio siarannya lagu jadul semua.” Nayla tak mendengar, ia hanya mengangguk-anggukan kepalanya menikmati. Ia mengambil lipgloss merah muda, lalu memoles bibirnya. Ia bercermin di smartphonenya, sesekali menipiskan bibir.                               
“Hari ini 17 agustus, kamu harus dengar lagu-lagu keroncong dan perjuangan zaman dahulu. “ Ayahnya merebut dan mematikan ponselnya. Lalu hening.                                         
Seorang wanita tua diujung senja, melanjutkan lirik, “Penuh dengan rencana dan janji tetap disetujui, walaupun bagaimana terjadi sehidup semati. Kemudian ia tak bisa melanjutkan, dada rasanya sesak. Bibir gemetar, menahan air mata. Nayla langsung menoleh kepadanya, merasa bersalah. Wanita itu tatap Nay, dengan tatapan nanar. Ia mirip dirinya kita masih muda, matanya, hidungnya dan rambutnya. Ia hidup di zaman yang berbeda.              
“Ibu menangis? Ada apa bu. Apa Ibu lapar? Mau makan apa?” Kata Irfan anak bungsunya. Setelah melihat dari kaca mobil di atas kepalanya. Dan disampingnya adalah anaknya sekaligus cucu. Nayla. Irfan dan Nayla akan mengajaknya pindah tempat tinggalnya ke kota. Selama ini  ia  hidup sebatang kara di kampung.  Suami meninggal 1 tahun lalu. Sekarang memiliki 4 anak dan 6 cucu.                                                                             
“Jangan marahi anak mu.” Kata wanita itu singkat. Suara paruh bergetar. Kulitnya sudah mengkerut. Penglihatan mulai kabur. Raga mulai melemah.          
Patient niet huilen.” Sebuah kalimat terdengar dari bibir Nayla, sang cucu. Kalimat yang tak asing ditelinga. Mengingatkan pada pelukan hangat kedua orangtuanya kala itu.
***
Seorang gadis 11 tahun keturunan Belanda, Annemie Abinaya. Nama yang menarik, berharap semenarik kisah hidupnya. Annemie dari bahasa Belanda berarti sopan santun. Abinaya bahasa Jawa kuno berarti akan menjadi anak yang penuh semangat. Orang Indonesia memanggil, Ann atau Naya. Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Rambut hitam lebat dan kulit sawo matang dari ibunya, Hidung dan mata mirip ayahnya.              .                                               
Ayahnya mantan tentara Belanda yang pernah menjajah tanah air. Ayahnya tertarik dengan kecantikan pesona ibunya seorang wanita Indonesia. Benih-benih cinta itu tumbuh ketika Ibunya menjadi buruh cuci di salah satu markas tentara Belanda. Ia menyatakan cintanya dan hendak menikahi. Komandan tentara geram mendengar perihal salah satu tentaranya hendak menikah dengan penduduk pribumi. Ia di ancam akan kehilangan jabatan sebagai tentara. Selain itu, setelah menikah segera mengasingkan diri sejauh mungkin.
Maret 1942, waktu kekuasaan Belanda di Indonesia  di rebut oleh Jepang. Tumpah darah, pertikaian dan ancaman ikut andil dalam perebutan jajahan. Jepang mengambil semuanya, mengambil paksa bekas jajahan Belanda dengan bringas. Ayahnya pun tak mau ikut campur masalah jajahan. Baginya itu telah usai 12 tahun yang lalu. Sekarang ia melebur menjadi penduduk biasa hidup bahagia bersama anak dan istrinya.                                                     
Terkadang kehidupan tak adil, ayah selalu dicurigai mata-mata. Katanya sengaja berkamuflase untuk menyiksa rakyat. Menjadi seorang blasteran memang menanggung derita. Bahkan Naya merasakannya. Teman sebaya tidak ada yang bergaul. “Pergi sana! Ayah kamu sudah tembak kakekku.” Cacian anak-anak kepadanya. Entah dari mana mereka mendapat pendapat seperti itu. Ia sedih tak mengerti. Siapa sebenarnya ayahnya. Namun yang membuat tersiksa, ayahnya dilempari batu-batu kecil oleh anak-anak yang telah di sugesti kedua orangtua. Bayangkan saja Belanda telah mengobrak-ngabrik tanah air selama 3,5 abad dan menyiksa tetua rakyat Indonesia. Kebencian itu sudah mendarah daging. Melekat dan mengakar sampai kapan pun.                         
             Ketika merasa gundah gulana dan sedih. “Patient niet huilen (Belanda : Sabar jangan menangis)” Tiga kata yang membuat tenang dipelukan ayahnya. Mencoba menenangkan anaknya yang tengah menangis. Ibunya masih sibuk di dapur sedang mempersiapkan makan malam.                      
 “Keluar dari kampung ini!” Teriak beberapa warga geram. Mereka tersentak dan keluar melihat apa yang terjadi di luar rumah. Ibunya memeluk Naya erat. Matanya mengerjap  pada Ibunya, apa yang terjadi. Ia mulai ketakutan. Ia rasakan tetesan hangat menyentuh ubun-ubun. Lalu ibunya mengajaknya masuk ke dalam rumah.                          
 “Tolong keluar hari ini juga. Kalau tidak, kami usir!” Kata warga sebagai peringatan terakhir. Ayah paham, Jepang sudah merebut tanah air sebagai jajahan. Kabar angin semakin kencang, bahwa Jepang sedang merekrut kerja paksa atau Romusha.  Para petani di ambil untuk kerja paksa membelah bukit untuk djadikan jalan dan kepentingan militer. Seperti kerja paksa ala Belanda tentu banyak korban melayang.                                                                               
Segala aset senjata dan markas mulai di ambil alih. Para tentaranya pun mulai dibersihkan. Tak terkecuali Ayahnya, dicurigai sebagi mata-mata Belanda.  Padahal tak sepercik hasrat untuk melakukan hal seperti itu. Ia sudah lama pensiun. Ternyata warga bekerja sama dengan tentara Jepang.  Untuk mencari dan memusnahkan segala hal tentang Belanda. Warga diberi janji manis kemakmuran  kesejahteraan, jika tidak maka akan di gantikan kesengsaraan.                         
“Ayo kita pegi sejauh mungkin.” Menenangkan Ibu dan Naya yang masih ketakutan. Sayang Naya memberontak, memukul dada ayahnya. Sedangkan Ibunya mengangguk segera mengambil tas memasukkan beberapa pakaian dan harta benda berharga.  “Vader, ben ik bang (Ayah, aku takut)”  Kata Naya air matanya terus mengalir sambil memelas kepada kepada ayahnya. Namun sebagai pemimpin rumah tangga, ayahnya bersikap tenang sembari mengusap lembut pipi Naya dengan sapu tangan.                                                                 
Mereka keluar rumah pada malam hari di temani penerangan obor bambu seadanya. Gelap malam semakin mencekam. Naya lemas, terus menangis belum makan sedikitpun. Terlebih lagi mata sembab, kehabisan tenaga untuk melawan tubuh ayahnya yang besar.  Naya digendong, pipinya bersandar tepat dipundak ayahnya. Tangannya memegang dada ayahnya, ia rasakan jantungnya berdetak lebih cepat. 
Dari arah depan sebuah suara khas mobil jeep tentara terdengar. Diikuti silaunya cahaya senter.                                                                       
Sittopu!” (Jepang: berhenti!)                                                                        
Terdengar suara jeritan ibunya. Apalagi yang terjadi, Naya dipeluk. Naya menutup mata sangat erat, berharap ia bangun esok hari, ini hanya mimpi, semua akan baik-baik saja. Belum saja terlelap tubuhnya telah digendong bunya. Matanya terbelalak ketika ayahnya menyerahkan diri.   
            “Niet het kind en de vrouw geen pijn ( Belanda: Jangan sakiti anak dan istriku) ” Katanya sambilnya mengangkat kedua tangan menuju mobil, diikuti kedua tentara sambil menempelkan tembakan laras panjang di kepala ayahnya.                      
“Ayah! Vader” berteriak. “Jangan tembak ayah, jangan bawa ayah!!!” Tangis Naya pecah. Ibunya menahan Naya hampir setengah jatuh. Tangan terus menunjuk mobil yang membawa ayahnya. Mencoba mengejar, pelukan ibunya semakin erat. Hingga mobil itu berlalu meninggalkan asap halus yang masih mengepul. Ia masih berharap ini hanya mimpi. Esok semua baik-baik saja.                  
1943. Fakta kejahatan sangat terasa. Kadang tak sengaja ia menemukan beberapa mayat yang mulai membusuk. Belum lagi hewan pemakan bangkai berdatangan untuk mengunyah raga yang tak bernyawa. Atau sengaja ditemukan mengambang, kondisi badan membiru dan membengkak di rawa. Bahkan wajahnya tak bisa dikenali lagi. Siapa itu? Dari mana asalnya? Apakah nasib ayah berakhir seperti ini?                                                                      
“Itukan mobil yang pernah tangkap ayah.” Kata Naya dengan senyum sebaik mungkin. Melambaikan tangan sambil melompat-lompat, sesaat mobil jeep sampai di hadapannya hanya berlalu begitu saja menyisakan debu. Beberapa tentara mengenakan seragam lengkap dengan senjatanya. Naya berbalik dan mengejar, merasa terusik tentarapun menghunuskan peluru ke arahnya, dorrr.. Melesat, tidak kena! Jantung Naya beradu cepat napasnya tak teratur. Langkah mungilnya tak memumpuni roda yang berputar. Kakinya tersandung, jatuh tersungkur. Matanya masih menatap mobil yang semakin jauh.
Pandangan matanya menggelap, lalu kembali terang. Sekilas melintas bayangan Ibu dan Ayahnya. Ia bangkit lalu mengikuti jejak mobil. Mentok di dalam hutan, ia terus menderap langkahnya dalam keraguan. Lubang  menganga berdiameter 3 meter dan kedalaman 2 meter membuat langkahnya terhenti. Berisikan dedaunan kering. Ada yang mengganjal, sehelai kain menyembul dari balik dedaunan. Rasa penasaran kian membuncah. Ia singkirkan dedaunan dengan ranting kayu. Sangat terkejut sesosok telapak kaki manusia, guratan uratnya terlihat mengakar di tulang, dilingkupi kulit. Jantung mencekam, dengan cepat ia gali tumpukan dedaunan. Tubuh pria itu tengkurap semakin telihat, hanya bertelanjang dada. Mungkin mayat pekerja paksa yang mati kelaparan. Ia melompat, memastikan siapa pemilik raga itu.                                                                                          
Ia balik wajah itu, tak asing sepertinya bukan orang Indonesia. Bibir terkelupas mengeluarkan darah. Tak sengaja matanya melihat bekas goresan pada     lengan, mirip luka ayah. Ayah? Apakah ini ayah? Tidak mungkin. Apakah ia tak pernah makan hingga kurus seperti ini? Perut dan dadanya penuh cambuk. Pergelangan kaki bekas jerat tali. Menekuk lutut, meraih dan mencium tangan ayahnya. Tak terasa buliran air jatuh menetes, mengalir lembut. Oh tidak, Ibu. Ia palingkan jasad kaku ayahnya. Matanya terbelalak, pakaian terakhir yang di kenakan Ibunya. Tak percaya. Tubuh Ibunya masih hangat, ia tenggelamkan kepala di pundaknya. Merangkul erat, tidak terasa denyutan, napasnya pun tak berhembus lagi.                
“Ayah, ibu bangun!” Tangis pecah sejadi-jadinya. Ia peluk keduanya. Tubuhnya terasa melayang. Kebahagiaan sudah terenggut. Canda dan tawa mereka telah sirna. Pelukan hangat berubah menjadi kaku. Mimpi-mimpi terhenti. Air mata jadi saksi. Di dunia ini ayah ibunya telah tiada.
***                                                                                                                             
            74 tahun berlalu. Menyisakan bekas goresan luka. Kisah kelam yang tak akan terulang kembali. Menjadi wanita tua yang disayangi oleh anak dan cucunya. Penuh perhatian tanpa kurang satupun. Sambutan hangan peluk dan cita menjadi kado treindah didalam hidupnya, dipenghujung senja.
Annemie Abinaya sesosok gadis kecil penuh perjuangan di masanya. Hidup penuh terjal berbatu demi bertahan hidup. Melawan ketidakadilan karena keturunan kolonial. Menyusuri asa hidup mencari secercah kehidupan yang terang dimasa depan. Hingga masa itu tiba ia menjadi wanita yang sangat berharga juga bahagia. Bisa melihat kehidupan dengan tenang tanpa kecemasan. Pada akhirnya Annemie Abinaya akan terlelap dalam tidur panjangnya dalam dekapan hangat. Disaksikan linangan air mata teriringi banyak doa penuh harap.

____
Kendari, 7 September 2017


COMMENTS

"BELAJAR ITU SEUMUR HIDUP"
Banner99
Nama

--V,2,Ahmad Muthahier,1,Amrul Nasir,1,Andhika Mappasomba,5,Aprinus Salam,1,Azizaturahmi Madil,1,Bahasa,1,Bicara Buku,6,bookstore,1,buku,1,Celoteh,15,Cerpen,9,Citizenship,1,Citra Deviyanti,1,Cucum Cantini,2,Dwi Novita Rahayu,1,Essai,13,Ettanya Ain,12,Faika Burhan,1,Inspiratif,1,Iphy Nerazzurri,1,Irhyl Makkatutu,1,Ismail Fathar Makka,1,Iwan Djibran,1,Kendari,2,La Hingke,1,La Ode Gusman Nasiru,1,Lailatul Qadriani,6,Literasi,1,Muhammad Agung,2,Muhammad Yusuf Abdan,1,Novel,2,Nurul Mutmainnah,1,Pendidikan,2,Penerbitan,2,Puisi,5,Raya Pilbi,2,Reportase,13,Resensi Buku,1,Review,5,Ridwan Demmatadju,1,Salim Kramat Alverenzo,1,sastra,1,Sinopsis,1,SOGI,1,Sosial Budaya,1,sosial politik,2,Terbitan,19,Yusuf IW,1,
ltr
item
Rumah Bunyi : Cerpen : Annemie Abinaya (Dwi Novita Rahayu)
Cerpen : Annemie Abinaya (Dwi Novita Rahayu)
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjLRfbuEjdA7DRryu84cBnEW-gbDLsWxsWMop23ZBJ0SUTgtmIr6RBZfE60M4Tu2SFzjKLK4nrT5iC4xuHVsorPEdAJylXsZU7D3PSxgVVxu2OJvxWNngrv5PhnBysemRhjheT89cWDWMA/s400/Screenshot_2018-02-27-00-53-59_1519664715795.jpg
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjLRfbuEjdA7DRryu84cBnEW-gbDLsWxsWMop23ZBJ0SUTgtmIr6RBZfE60M4Tu2SFzjKLK4nrT5iC4xuHVsorPEdAJylXsZU7D3PSxgVVxu2OJvxWNngrv5PhnBysemRhjheT89cWDWMA/s72-c/Screenshot_2018-02-27-00-53-59_1519664715795.jpg
Rumah Bunyi
http://www.rumahbunyi.com/2018/03/cerpen-annemie-abinaya-dwi-novita-rahayu.html
http://www.rumahbunyi.com/
http://www.rumahbunyi.com/
http://www.rumahbunyi.com/2018/03/cerpen-annemie-abinaya-dwi-novita-rahayu.html
true
2473427367586082924
UTF-8
Lihat Semua Tulisan Halaman Tidak Ditemukan LIHAT SEMUA Selengkapnya Balas Batalkan Hapus Oleh Home HALAMAN ARTIKEL LIHAT SEMUA ARTIKEL LAINNYA LABEL ARSIP PENCARIAN SEMUA TULISAN Tulisan yang Anda cari tidak ditemukan. Kembali Ke Beranda Sunday Monday Tuesday Wednesday Thursday Friday Saturday Sun Mon Tue Wed Thu Fri Sat January February March April May June July August September October November December Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec just now 1 minute ago $$1$$ minutes ago 1 hour ago $$1$$ hours ago Yesterday $$1$$ days ago $$1$$ weeks ago more than 5 weeks ago Followers Follow THIS CONTENT IS PREMIUM Please share to unlock Copy Semua Code Pilih Semua Code Semua Code Telah Ter-copy Code/Teks Tidak Dapat Ter-copy, Silahkan Tekan [CTRL]+[C] (Atau CMD+C di Mac) Untuk Copy