Catatan Penulis Buku Puisi S
Perjalanan dan Pertemuan
Menulis buku puisi ini tidaklah mudah dan tergesa. Setidaknya membutuhkan waktu selama tujuh tahun menuntaskannya. Tapi, Insya Allah, buku puisi ini bukanlah akhir. Buku ini barulah bagian satu dari impian panjang dari pergulatan saya sebagai penulis puisi yang juga membaca banyak puisi dan karya sastra lainnya dari berbagai penulis yang ada di dunia di berbagai negara dan zaman. Tidak semua puisi yang pernah saya tulis termuat dalam buku ini.
Ada puluhan puisi saya tuliskan dan membiarkannya berjalan sendiri dalam waktu. Sebagian di antaranya digubah menjadi lagu oleh beberapa sahabat atau dijadikan note-note yang menghiasi berbagai ruang. Seperti puisi-puisi saya yang lebih dahulu diterbitkan menjadi buku puisi. Salah satu harapan, puisi ini dibukukan sebagai upaya merintis jalan menuju sorga dan syiar kebajikan dalam wujud penopang gerakan literasi. Selain itu, sebagai pribadi yang kurang suka berkompetisi, buku ini tidaklah dimaksudkan terbit untuk meraih capaian-capaian tertentu dalam dunia kesusasteraan Indonesia.
Buku puisi S ini sesungguhnya lahir dari sebuah diskusi saya bersama sahabat Dr. Ahyar Anwar yang selama hidup banyak menemani saya dalam membaca dan belajar menulis karya sastra. Pernyataan Almarhum yang sering saya kenang adalah bahwa sebuah puisi mesti memiliki kekuatan menggerakkan dan juga mesti memiliki rahasia. Rahasia inilah yang membuatnya menjadi puisi sebab pembaca dapat diantarkan untuk menyelami rahasianya. Puisi yang telanjang terkadang tidak telalu kuat untuk menggoda pembaca memahami makna di balik sebuah puisi.
Makanya S adalah rahasia. Bahkan dalam diskusi kami dengan Almarhum Dr. Ahyar Anwar, S tak pernah terjelaskan dalam diskusi itu. Selanjutnya, makna S terkubur bersamanya. Dia melengkapi rahasianya. Buku puisi S ini lalu terpental jauh dari gagasan awalnya, yaitu untuk konsisten mengeksplorasi S.
Buku puisi ini mengembara dari satu fragmen ke fragmen lainnya, mengikuti perjalanan-perjalanan sastra yang memang saya banyak lalukan selama tujuh tahun belakangan ke banyak wilayah di Indonesia, hingga buku puisi ini selesai. S pulalah yang menginspirasi saya untuk memberikan satu huruf pada nama anak saya. Huruf yang tidak terjelaskan maknanya. S harus dicari olehnya kelak ketika pikirannya telah diperhadapkan pada rahasia-rahasia kehidupan yang sangat kompleks. Mulai dari rahasia pribadi, rahasia kelompok tertentu atau pun rahasia umum yang sangat absurd. Menuliskan catatan pada buku puisi ini bukanlah sebuah upaya untuk mendikte pembaca atau memaksa pembaca untuk mengakui eksistensi saya sebagai seorang penulis karya sastra, sebagaimana krisis identitas yang banyak menjangkiti masyarakat media sosial belakangan ini. Saya juga tidak bermaksud menuliskan catatan yang membuat pertanyaan-pertanyaan baru.
Setidaknya, catatan ini hanya berupaya mengisahkan sebuah proses kreatif dari lahirnya puisi-puisi dalam buku puisi ini. Buku puisi ini juga tidaklah bermimpi menjadi buku yang sangat laris di pasaran dengan upaya periklanan yang memaksa orang secara tidak sadar untuk memilikinya. Apapun yang terjadi dengan perjalanan buku ini, saya menganggapnya sebagai jalan takdir. Takdir dari buku puisi ini dalam menerabas belukar pemikiran miring tentang hidup banyak penyair yang tersungkur dalam dunia perenungan serius dan sekarat dalam kemiskinan materi.
Puisi S mungkin hasilnya tidaklah menarik dibedah secara teori-teori sastra yang rumit dan mengernyitkan kening. Tapi, setidaknya pembaca mengetahui bahwa proses menulis yang saya jalani terkadang harus menjalani pertempuran lahir batin. Pertempuran melawan dan menjalani kemiskinan hidup yang terkadang lapar dan pertempuran kata hati yang kerap meraung dalam keheningan saat menyaksikan realitas sosial di banyak wilayah di Indonesia. Atau pertempuran hati saat menemukan sepercik cahaya cinta baru yang merekah bagai bunga mawar basah saat pagi dalam perjalanan.
Saya kagum kepada mereka yang pernah saya temui dalam perjalanan, dimana mereka hidup di tepi dan mengajarkan tentang keteduhan jiwa dalam menjalani hidup. Nirwan Ahmad Arsuka (Pendiri Pustaka Bergerak Indonesia) dengan sukarela berkorban jiwa dan raga demi membangun kesadaran publik dan pada komunitas untuk meningkatkan minat baca rakyat Indonesia, Aziil Anwar yang menanam mangrove di atas pantai karang di Sulawesi Barat dan menjadikannya hutan pendidikan mangrove berkelas Internasional, Armin Salassa dengan gigih merintis konsep bertani alami di sebuah desa di Bulukumba, Khaerul Asnan Petta Taro yang merintis Rumah Baca di wilayah Tulin Onsoi perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan Utara, Iswan Kinsank yang setia mendampingi perjuangan buruh di Nunukan dan Malaysia, Lumbis, Lelaki Suku Dayak Agabag yang tegus mempertahankan NKRI di Tapal Batas dan menyuarakan kampung Kinokot yang terhapus dalam peta Kalimantan Utara karena warganya mengungsi ke Malaysia di zaman konfrontasi.
Perjalanan dan pertemuan dengan banyak oranglah yang membuat puisi ini dapat lahir. Saya kagum kepada mereka yang memiliki ketulusan dalam berbuat bagi orang banyak. Seperti yang dilakukan Muhammad Ridwan Alimuddin dalam menuliskan dan membukukan banyak hal tentang Suku Mandar di Sulawesi Barat, Patta Nasrah dalam menumbuhkan semangat diskusi kritis tanpa sekat keilmuan antar komunitas dan personal di Kota Kendari Sulawesi Tenggara, Badaruddin Amir yang tulus melakukan pendataan dan pencatatan “dunia” sastra Sulawesi Selatan, orang-orang yang tulus dan tekun merawat buku peninggalan HB Jassin di TIM Jakarta dan memberi saya kesempatan masuk ke ruangan pribadi HB Jassin dan duduk berdoa di kursinya, H. Arief Saenong yang setia mendokumentasikan tentang perahu tradisional Pinisi, FX Making di Wamena Papua yang berjuang mengangkat realitas kehidupan Papua ke permukaan melalui film, ada Ridwan Sururi yang berkeliling dengan Kuda Pustakanya dari kampung ke kampung mengajak siapa saja membaca buku di pulau Jawa, dan Angga Passakanawang yang meneguhkan gerakan literasi di pulau Sebatik Indonesia.
Nama dan pertemuan tersebut hanyalah sebagian kecil yang tersebutkan. Mereka adalah inspirasi-inspirasi yang saya temui dalam perjalanan, termasuk beberapa nama yang tak juga saya sebutkan namun melekat kuat dalam hati bagai semerbak bunga kenanga yang tulus dengan keharumannya meski telah layu dan menua di dalam hati. Menilai harga dari sebuah puisi tentu tidaklah tuntas hanya dengan menimbang baik dan buruknya jika disandingkan dengan proses menemukan dan menuliskannya.
Proses menemukan yang saya maksudkan adalah perjalanan menemukannya yang entah lewat riset, literatur atau kunjungan tertentu ke sebuah daerah yang jauh dan terpencil. Bagaimana menilai sebuah puisi yang dituliskan saat perjalanan memotret realitas dan penulis mengalami kecelakaan di perjalanan lalu nyaris membuat penulis cidera dan bahkan meregang nyawa? Saya pikir bahwa itu sama kejamnya dengan seorang pembeli ikan yang menawar ikan dengan harga terendah tanpa peri kemanusiaan dari seorang nelayan yang semalam suntuk dihajar badai ganas di tengah laut untuk memancing. Begitu halnya dengan S. Di rumah mereka, tentu ada seseorang yang menunggu S. Di hati mereka ada bahasa yang tak tersampaikan dan di puisi para penyairlah itu mengalir bening sebagai sebuah S yang membatu. Kepada Tuhan semesta alam, Yang Maha Cinta, Maha Baik, Maha Pengampun, kepadaMu hamba berserah diri lahir dan batin. Tempatkanlah kedua Orang Tua, Mertua, Istriku, Saudara-i, Kekasihku dan seluruh Keturunanku serta sahabatsahabatku di sorgaMu, amin.
Gowa-Makassarr, Agustus 2017
Andhika Mappasomba Daeng Mammangka
COMMENTS