Reportase Diskusi 3 Mei 2017
(Bagian 2 dari 4 tulisan)
Subtema Pertama :
Ideologi dan Lokalitas dalam Karya Sastra
Irianto Ibrahim, seorang penyair dan juga seorang akademisi universitas Haluoleo, mengerucutkan topik perbincangan dengan mengemukakan bahwa persoalan ideologi dalam kepenulisan atau karya sastra di Kendari apakah sudah memungkinkan untuk dibicarakan. Sebab dengan adanya semangat untuk menulis dan berkarya baginya adalah sebuah peristiwa dan pencapaian yang luar biasa. Adalah sesuatu yang sangat Waahhh, kejutan yang luar biasa.
Selama ini, Baginya dan beberapa orang yang sejak lama terlibat dalam kepenulisan, bahwa menulis adalah hal yang penting untuk dilakukan. Mengutip Gabriel Garcia Marquez, bahwa Yudas seorang penulis adalah sebaik baiknya menulis.
Membicarakan ideologi dalam sebuah karya yang bentuknya karya sastra, yang di dalamnya menyoal ketuhanan atau teologis. Dengan Menyebut kata tuhan atau ketuhanan apakah lantas kemudian mempercayai tuhan? Atau apakah dengan membicarakan surga atau neraka kemudian telah mempercayai adanya Tuhan atau tidak? Saya tidak akan membicarakan ketidaktahuan itu.!!
Tapi hal yang pasti adalah, bahwa sebenarnya kita, di kota ini. Belum sampai pada pergulatan itu.
Dalam bersastra, kita dengah mudah menemukan fenomena, adanya anggapan bahwa karya yang bagus adalah karya yang sudah dimaknai artinya. Demikian pula tentang kriteria sebuah karya yang disebut sebagai tema Lokalitas. Ketika kita menemukan istilah yang berbahasa daerah tertentu dalam sebuah karya sastra, tidak otomatis kemudian secara langsung dianggap sebagai tema Lokalitas.
Lokalitas itu soal jiwa sebuah ruang kebudayaan. Sebagai contoh, Lokalitas dapat kita temukan pada puisi Syaifuddin Gani yang berjudul Wondulako Lamekongga. Puisi ini berbicara tentang diaspora Selatan dan tenggara. Pada puisi Iwan Konawe saya tidak menemukan adanya Lokalitas itu.
Makna kata yang ditulis dengan bahasa lokal, maknanya tetap sama jika diganti dengan bahasa Indonesia,
Lokalitas tidaklah demikian. Apakah makna tergantikan? Atau sangat mungkin juga, saya dan kita belum sampai pada proses pelacakan untuk menemukan maksud dari puisi puisi itu. Kemungkinan itu selalu ada, jangan jangan memang demikian.
Menyoal kembali soal lokalitas dalam sebuah karya sastra, lokalitas bukanlah sebuah kumpulan kata kata berbahasa daerah, lokalitas adalah jiwa yang melekat pada akar kebudayaan, lokalitas mampu memberikan demarkasi ruang dan tempat yang melekat pada penyebutan sebuah wilayah.
Sebagai gambaran, Membicarakan lokalitas dapat ditarik pada tiga bentuk yang berbeda. Yang pertama adalah demarkasi ruang secara geografis yang memiliki ciri khusus, yang melekat dan tak terpisahkan. Yang kedua adalah demarkasi kebudayaan yang memiliki bentuk yang berbeda (ritual) antara satu dan lainnya. Yang ketiga adalah demarkasi sosial politik yang juga menjadi penanda, yang melekat dan bentuknya khas dibandingkan dengan wilayah lainnya.
***
(Bagian 2 dari 4 tulisan)
Subtema Pertama :
Ideologi dan Lokalitas dalam Karya Sastra
Gambar/Sketsa Karya Astika Elfahkri |
Irianto Ibrahim, seorang penyair dan juga seorang akademisi universitas Haluoleo, mengerucutkan topik perbincangan dengan mengemukakan bahwa persoalan ideologi dalam kepenulisan atau karya sastra di Kendari apakah sudah memungkinkan untuk dibicarakan. Sebab dengan adanya semangat untuk menulis dan berkarya baginya adalah sebuah peristiwa dan pencapaian yang luar biasa. Adalah sesuatu yang sangat Waahhh, kejutan yang luar biasa.
Selama ini, Baginya dan beberapa orang yang sejak lama terlibat dalam kepenulisan, bahwa menulis adalah hal yang penting untuk dilakukan. Mengutip Gabriel Garcia Marquez, bahwa Yudas seorang penulis adalah sebaik baiknya menulis.
Membicarakan ideologi dalam sebuah karya yang bentuknya karya sastra, yang di dalamnya menyoal ketuhanan atau teologis. Dengan Menyebut kata tuhan atau ketuhanan apakah lantas kemudian mempercayai tuhan? Atau apakah dengan membicarakan surga atau neraka kemudian telah mempercayai adanya Tuhan atau tidak? Saya tidak akan membicarakan ketidaktahuan itu.!!
Tapi hal yang pasti adalah, bahwa sebenarnya kita, di kota ini. Belum sampai pada pergulatan itu.
Dalam bersastra, kita dengah mudah menemukan fenomena, adanya anggapan bahwa karya yang bagus adalah karya yang sudah dimaknai artinya. Demikian pula tentang kriteria sebuah karya yang disebut sebagai tema Lokalitas. Ketika kita menemukan istilah yang berbahasa daerah tertentu dalam sebuah karya sastra, tidak otomatis kemudian secara langsung dianggap sebagai tema Lokalitas.
Lokalitas itu soal jiwa sebuah ruang kebudayaan. Sebagai contoh, Lokalitas dapat kita temukan pada puisi Syaifuddin Gani yang berjudul Wondulako Lamekongga. Puisi ini berbicara tentang diaspora Selatan dan tenggara. Pada puisi Iwan Konawe saya tidak menemukan adanya Lokalitas itu.
Makna kata yang ditulis dengan bahasa lokal, maknanya tetap sama jika diganti dengan bahasa Indonesia,
Lokalitas tidaklah demikian. Apakah makna tergantikan? Atau sangat mungkin juga, saya dan kita belum sampai pada proses pelacakan untuk menemukan maksud dari puisi puisi itu. Kemungkinan itu selalu ada, jangan jangan memang demikian.
Menyoal kembali soal lokalitas dalam sebuah karya sastra, lokalitas bukanlah sebuah kumpulan kata kata berbahasa daerah, lokalitas adalah jiwa yang melekat pada akar kebudayaan, lokalitas mampu memberikan demarkasi ruang dan tempat yang melekat pada penyebutan sebuah wilayah.
Sebagai gambaran, Membicarakan lokalitas dapat ditarik pada tiga bentuk yang berbeda. Yang pertama adalah demarkasi ruang secara geografis yang memiliki ciri khusus, yang melekat dan tak terpisahkan. Yang kedua adalah demarkasi kebudayaan yang memiliki bentuk yang berbeda (ritual) antara satu dan lainnya. Yang ketiga adalah demarkasi sosial politik yang juga menjadi penanda, yang melekat dan bentuknya khas dibandingkan dengan wilayah lainnya.
***
COMMENTS