Gambar/Sketsa karya Astika Elfahkri |
Cerpen : Ibuk Pulang
Oleh : LaiLatul Qadriani
Gelap lalu terang kembali. Aku terkantuk-kantuk dalam perjalanan panjang menuju kampung lahir Ibuk. Perjalanan ini memang sangat melelahkan. Betapa tidak, setelah sekian lama Ibuk meninggalkan kampung lahirnya dan memilih hidup bersama Bapak di Jakarta, selama itu pula Ibuk tak lagi pernah mengunjungi kampung yang membesarkannya, Ia hanya sekali-sekali bercerita tentang tanah lahirnya itu kepada anak-anaknya.Kami.
Perjalanan yang amat melelahkan. Selain jaraknya yang jauh aku pun tak terlalu mengenal tempat itu. Yang ku tahu bahwa tempat itu tak seperti layaknya kampung kebanyakan. Menurut ceritaBapak, Ibuk dulu sering menyebut tempat itu surga, dengan tanahnya yang merah dan pepohonannya yang hijau. Saat hujan turun, tempat itu selalu menjadi tempat yang menakjubkan dengan lingkar pelangi yang hampir sempurna menghias cakrawala. Tidak hanya itu, hampir disetiap sudut-sudut kampung akan tercium wangi cengkeh. Ibuk percaya, tanah lahirnya itu diberkati Dewata. Tanah yang subur dan gembur hingga apa pun yang tertanam akan berbuah hasil yang sempurna.
Aku kini melewati pepohonan meranggas dengan ranting dan dedaunannya yang membentuk terowongan hidup. Perlahan-lahan udara yang dingin mulai terasa menusuk tulang-tulangku. Apa ini sebagian dari hutan tropis milik Indonesia? Aku juga tak tahu persis. Telah hampir empat setengah jam aku meninggalkan kota Makassar setelah Jakarta. Makassar, kota itu hanya beberapa kali kujamah, penyebabnya tentulah karena tugas kantor. Sebab Ibuk tak pernah ingin mengajak kami ke sana. Kota dengan hutan beton yang menjulang ke langit. Sedikit ingin menyerupai Jakarta. Sibuk dan macet.
Syarifuddin, pemuda yang menjemputku di bandara pagi tadi telah beberapa kali menguap, mungkin ia lelah setelah hampir empat jam mengemudikan hartop tua yang katanya milik paman. Adik Ibuk. Syarifuddin tak jauh terpaut denganku, ia hanya setahun lebih muda dariku yang kini telah 27 tahun. Aku selalu menganggap, diriku ini masih sangat muda, apalagi untuk urusan pernikahan dan membangun keluarga. Tapi Syarifuddin yang menurut pengakuannya sendiri telah beristri dua kali dengan tiga orang anak sangat membuatku takjub. Aku sendiri tak habis pikir, laki-laki yang kerap dipanggil Fuddin oleh Bapak telah seberani itu mengambil langkah masa depannya sendiri. Ku rasa aku tak begitu mengenalnya. Tapi setidaknya ia telah memberiku sedikit gambaran tentang bagaimana anak-anaksebayaku di kampung Ibuk.
Hujan. Rintiknya yang basah mulai menyelinap dangkal ke dalam tanah. Aku selalu menyenangi adegan ini, hujan pertama di hari yang begitu terik memberi aroma tanah yang basah dengan uap debu yang perlahan-lahan meranggas ke setiap rongga, membaur dalam aliran darah, menikam ke tulang lalu ke sukma. Tuhan memang lihai mencipta setiap adegan alam yang selalu mampu mengubah apa yang ku rasa menjadi berbeda. Kuminta Fuddin untuk sejenak berhentidan menungguku di mobil.
“Hujanki Daeng... mauki bikin apa?” mimik Fuddin lucu. Ia jelas keheranan.
“Mau main hujan. Tunggu yah...”
Aku lalu bergegas keluar dan tak lagi menghiraukan keheranan Fuddin. Aku selalu terpesona pada setiap bulir-bulir hujan yang jatuh ke tanah. Tanah yang basah dengan genangan air semakin menjadikan adegan ini tampak sempurna. Kembali bulir-bulir itu meranggas menusuk hingga ke tulang setelah itu ke sukma.
Sejak kecil, Ibuk selalu mengajariku hal-hal menarik. Ketika hujan tiba, ia akan mengajakku ke halaman depan, berlari kecil membentangkan kedua tangan kecilku menghadap ke langit, menikmati setiap butiran-butiran kecil jatuh membasahi wajahku. Disaat para Ibuk lain mengurung anak-anaknya kala hujan tiba sebab takut akan terserang sakit, Ibuk tak seperti itu, ia justru akan membebaskan kami berlari mengejar rerintik yang jatuh berbaris. Kata Ibuk rerintikhujan itu adalah air parita yang dijatuhkan Śakradari langit untuk membersihkan makhluk-makhluk jahat di bumi. Ibuk selalu punya banyak cerita tentang hujan dan dongeng seisi bumi yang selalu mampu membuat kami duduk tenang tanpa bosan mendengarnya berkisah.
Rerintik itu tak lagi sederas beberapa menit yang lalu ketika Fuddin menghampiriku. Ia tentulah heran melihatku basah kuyup di sisian jalan sambil membentangkan kedua tangan menghadap langit.
“Apa kita bikin Daeng? Auwweee... panas maki itu sebentar?” dengan logat khas kampung yang mengental aku menerka-nerka bahwa ia tak hanya sekedar bertanya.
“Tak ada apa-apa dek, ini caraku menikmati hujan...” terangku. Fuddin yang lalu merasa tindakanku ini tak biasa baginya semakin keheranan.
“Ganti maki dulu bajuta di mesjid depan.”
“Okey” Lalu ia menemaniku menyeberang jalan menuju mesjid dan menunjukkan tempat di mana aku bisa berganti pakaian.
“Daeng masuk angin nanti".
Tak lagi hujan. Tapi bau tanah yang basah masih sangat kental menyelinap di setiap rongga-rongga udara lalu menusuk ke penciumanku sendiri. Aku kembali teringat pada Ibuk. Ibuk tak pernah menyoalkan keinginan anak-anaknya. Ia seorang ibuk yang selalu menuntun anaknya bertanggung jawab pada setiap pilihan-pilihan yang ditawarkannya. Pernah sekali waktu Abang, saudara laki-lakiku berkeras hendak ke Merapi. Kala itu jiwa lelaki petualangnya sedang amat sangat ganas mengaliri darahnya. Ibuk hanya mengingatkan Abang untuk berhati-hati pada apa yang dianggapnya semangat. Sampai pada akhirnya terdengar kabar, Merapi memuntahkan lahar panasnya, menghanguskan segala yang dilaluinya. Kaliadem saat itu luluh dalam abu vulkanik Merapi. Abang dinyatakan sebagai salah satu korban tak selamat. Kami pasrah, Ibuk mengikhlaskan anak sulungnya menyatu dengan alam. Hanya sekali ia tampak terisak.
***
Setelah hampir empat jam melawati curamnya kelokan jalan, dan hujan yang merongga berbaris. Kami akhirnya tiba. Desa yang dingin. Orang-orang lalu lalang membungkus tubuh mereka dengan sarung. Sesaat kutemukan damai. Tak ada bising kendaraan juga klakson yang meruncing ke telinga. Ini bukan Jakarta juga Makassar. Ini tanah tempat lahir Ibuk. Udaranya yang selalu membawa embun berhasil menghangatkan hatiku. Jika di tempat ini begitu damainya, mengapa Ibuk rela meninggalkan tempat ini?
Jika rindu tanah kelahiran, Ibuk hanya akan berdiam di jendela menatap langit. Samar-samar ia mendendang lagu yang sejak kecil selalu menemaniku hingga tertidur dipangkuan Ibuk.Anging mammirik. Ibuk selalu mengingatkan aku agar tak pernah mengikuti pilihan hidupnya. Terlebih kini aku anak yang sendirian. Tak lagi berteman saudara. Katanya “setiap manusia bebas menentukan pilihan hidupnya. Setiap pilihan memiliki alurnya masing-masing. Meski begitu, hal yang kadang dilupakan manusia adalah lupa menyadari bahwa tak pernah ada kebebasan yang hakiki. Aku memilih meninggalkan kampung, memutus kepercayaan yang kuanut sejak kecil. Dan aku terbuang. Inilah yang harus kubayarkan. Kalian anak-anakku, tak sekalipun mengenal dari siapa kalian berasal.” Pesan Ibuk pada kami, selepas sembahyang.
Sejak mampu mengenal dan mengerti huruf, aku dan Abang telah diajarkan banyak keyakinan. Ibuk mengajari kami satu persatu. Bapak adalah seorang kristiani yang taat, Ibuk dulunya adalah muslim, lalu ia menemukan kedamaian dalam ajaran Budha. Tak jadi masalah bagi Bapak. Sebab sejak kecil Ia pun dibesarkan dari beragam agama. Kami anak-anaknya, setelah usia 17 tahun memutuskan memeluk Islam. Ibuk bahagia. Bapak pun tak menjadikannya masalah.
Angin mendesau, Fuddin yang sedari tadi sibuk membereskan kamar yang akan kutempati menyadarkanku.
“Itu guci yang dari tadi kita pangku, sinimi saya simpankanki di kamar. Kita jalan-jalanmi dulu ke rumahku sama rumahnya Etta. Dari tadiji dia tungguki...” Aku beranjak, sambil tersenyum. Dengan perlahan ku letakkan guci ini pada undakan tempat tidur.
Setelah dirundung rindu yang menjulang. Etta Hamsu, panggilan bapak bagi orang-orang di kampung ini menemui kami. Ia memelukku erat sambil terisak. Aku sendiri baru bertemu dengannya hari ini. Ibuk tak banyak berkisah tentang adik semata wayangnya ini. Hanya Bapak. Bapak pulalah yang memintaku untuk segera menemui adik Ibuk begitu tiba. Bapak diam-diam menjalin komunikasi yang hangat dengannya. Hal yang tak pernah diketahui Ibuk.
Pelan-pelan, Etta Hamsu melepaskan pelukannya. Ia memandangku dalam. “Adaki daeng Rubia di muka’ta nak. Mirip sekaliki sama mamakta nak.” Etta Hamsu memelukku lagi. Kali ini aku membalas dengan mengusap punggungnya. Ibuk tentulah sangat dicintai keluarganya. Cinta yang diam. Yang Ibuk sendiri tak mampu membacanya.
Setelah menangkup perasaannya. Etta Hamsu dan Fuddin membawaku ke halaman belakang rumah. Kami melewati persawahan hijau yang katanya warisan nenek untuk Ibuk. Pada pinggiran sawah, bergaris sungai yang lebar. Arusnya deras, dengan bebatuan kali yang besar. Rupanya ini adalah sungai yang selalu diceritakan Ibuk. Sungai Balantieng namanya.
“Saya sudah ditelponmi sama Daeng Yakub, Bapakta. Dia sudah ceritakanmi juga bagaimana Daeng waktu sakit. Saya ikhlasmi sama pilihannya Daengku. Kakek dan Nenekmu juga sudah maafkan Daeng.” Etta Hamsu kembali terisak. Fuddin juga, meski Ia baru tahu belakangan dari cerita Etta Hamsu. Tak ada raut marah di wajahnya. Aku yakin, Ibuk memiliki keluarga yang hatinya bening.
“Tabur di sini maki abunya Daeng Rubiah nak. Etta yakin sekali, kalo Daeng pasti rindu sekali sama rumah. Pasti dari dulu mau sekaliki pulang ke sini kodong. Tabur maki nak. Biar Daeng menyatu sama tanah di sini.”
Etta Hamsu benar. Ibuk di saat-saat terakhirnya memimpikan pulang ke tanah lahirnya. Tanah yang merah dan arus sungai yang berlari. Di sinilah Ibuk lahir, di sini pulalah tempat kepulangan terakhirnya.
COMMENTS